Nilai oksigen pada saat pengukuran berkisar antara 2,30 hingga 6,75 ppm, Oksigen tersebut sangat penting bagi pernafasan dan merupakan komponen utama bagi metabolisme kepiting bakau dan organisme perairan lainnya. Keperluan organisme terhadap oksigen bervariasi tergantung pada jenis, stadia dan aktivitasnya (Wardoyo, 1981). Djatmika (1986) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut yang terbaik untuk kehidupan organisme perairan berkisar antara 5-5,69 ppm. Ditambahkan oleh Djangkaru (1974) bahwa kandungan oksigen 3 ppm dapat menyebabkan selera makan organisme perairan akan turun, pada kandungan 7 ppm selera makan organisme perairan mencapai puncaknya. Menurut Kuntiyo et al (1993) oksigen terlarut yang memenuhi persyaratan untuk budidaya kepiting adalah lebih dari 3 ppm.
Faktor kualitas air sangat penting untuk kelangsungan hidup kepiting bakau (Scylla serrata). Adapun kualitas air selama melaksanakan PKL di sajikan dalam Tabel 3.
Dari Tabel 3 di atas dapat dilihat nilai dari beberapa parameter kualitas perairan yang dilakukan selama PKL. Nilai salinitas pada budidaya tersebut berkisar antara 24,8 - 28,8 0/00. Salinitas mempunyai pengaruh langsung terhadap tekanan asmotik air. Semakin tinggi salinitas akan semakin besar pula tekanan asmotiknya (Sutaman, 1993). Ditambahkan oleh Kasry (1996) berdasarkan kondisi daur hidupnya dapat diperkirakan sebagai kondisi perairan yang dilalui dalam menjalani hidup kepiting bakau pada saat ditetaskan salinitasnya 29-33 per mil. Pada saat kepiting muda yang baru berganti kulit memasuki muara sungai akan dapat mentolerir salinitas yang rendah (10-20 per mil). Menurut Tribawono et al (1995) bahwa kepiting dewasa toleran terhadap perubahan salinitas dan dapat hidup dalam air dengan salinitas 0-50 per mil. Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992) air yang digunakan dalam pemeliharaan kepiting sebaiknya mempunyai salinitas yang sesuai dengan kebutuhan kepiting yaitu antara 15-35 per mil. Diperkuat oleh pendapat Kuntiyo et al (1993) bahwa salinitas yang baik untuk budidaya kepiting adalah 15-30 per mil.
Nilai Suhu berkisar dari 28.9 hingga 32.5 0C. Perubahan suhu secara mendadak akan berpengaruh langsung terhadap kehidupan Kepiting. Jika suhu air tambak turun hingga di bawah 200C, daya cerna kepiting terhadap makanan yang dikonsumsi berkurang. Sebaliknya, jika suhu naik hingga lebih dari 350C, kepiting akan mengalami stress karena kebutuhan oksigen semakin tinggi. Untuk menghindari kenaikan suhu pada musim kemarau, permukaan air perlu dinaikkan, atau menambah kedalaman tambak dan memasukkan air baru.
Nilai pH air berkisar antara 6,5 hingga 6,8 dan pH tanah 6,5 - 7 hal ini masih dapat ditoleransi oleh kepiting yang kita budidayakan. Pada kolam atau tambak yang banyak dijumpai tumbuhan renik, pH air pada pagi hari biasanya mencapai kurang dari 6,5. Keberadaan pH di perairan penting untuk reaksi-reaksi kimia dan senyawa-senyawa yang mengandung racun perubahan asam atau basa di perairan dapat mengganggu sistem keseimbangan ekologi. Nilai pH juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas (Mackereth et al., 1989 dalam Aria, 2009). Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas. Berdasarkan nilai kisaran pH menurut EPA (Environmental Protection Agency) untuk kehidupan organisme air adalah 6,5 – 8,5. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8.5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Selain itu,nilai pH juga sangat berpengaruh terhadap toksisitas suatu senyawa kimia. Menurut Swingle (1978) dalam Aria (2009), mengatakan bahwa pH yang baik atau cocok untuk budidaya ikan adalah antara 6.50-9.00. Sedangkan titik kematian ikan terjadi pada pH 4.00 untuk asam dan 11.00 untuk basa. Pada kolam dengan system resirkulasi air cenderung menjadi asam karena proses nitrifikasi dari bahan organic akan menghasilkan karbondioksida-karbondioksida dan ion hydrogen. Mengantisipasi rendahnya pH pada saat persiapan tambak, tanah dasar tambak bisa ditaburi kapur, untuk menaikkan pH. Alat yang digunakan untuk mengukur pH tanah adalah soil tester (Gambar 15).
Amonia (NH4+) pada suatu perairan berasal dari urin dan feses yang dihasilkan oleh ikan. Kandungan amonia ada dalam jumlah yang relatif kecil jika dalam perairan kandungan oksigen terlarut tinggi. Sehingga kandungan amonia dalam perairan bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman. Pada dasar perairan kemungkinan terdapat amonia dalam jumlah yang lebih banyak dibanding perairan di bagian atasnya karena oksigen terlarut pada bagian dasar relatif lebih kecil (Welch, 1952 dalam Aria, 2009). Menurut Jenie dan Rahayu (1993) dalam Aria (2009), konsentrasi amonia yang tinggi pada permukaan air akan menyebabkan kematian ikan yang terdapat pada perairan tersebut. Toksisitas amonia dipengaruhi oleh pH yang ditunjukkan dengan kondisi pH rendah akan bersifat racun jika jumlah amonia banyak, sedangkan dengan kondisi pH tinggi hanya dengan jumlah amonia yang sedikit akan bersifat racun. Selain itu, pada saat kandungan oksigen terlarut tinggi, amonia yang ada dalam jumlah yang relatif kecil sehingga amonia bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman (Welch, 1952 dalam Aria, 2009).
Amonia (NH3) dan Asam Sulfida (H2S) merupakan senyawa yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kepiting. Munculnya amonia di dalam tambak disebabkan oleh adanya sisa pakan yang tidak termakan, bangkai hewan dan tumbuhan, kotoran kepiting, dan bahan organik lainnya yang membusuk, misalnya ganggang. Agar kepiting tumbuh cukup baik, amoniak yang terdapat dalam air tambak tidak boleh lebih dari 2 ppm. Di samping amoniak, kandungan asam sulfinda pun akan berpengaruh terhadap tambak, terutama setelah 2-3 kali panen. Langkah pencegahan bisa dilakukan dengan mempersiapkan tambak sebaik mungkin dan menjaga kualitas pakan. Pakan yang berkualitas akan mendukung stabilitas air dalam tambak. Konsentrasi asam sulfida normal atau yang bisa ditoleransi di dalam tambak adalah 0,12 ppm. NH3 dalam air dapat dibuang dengan proses tripping (pH optimum ± 12) atau dengan proses mikrobiologi.
Secara biologis di alam sebenarnya dapat terjadi perombakan ammonia menjadi nitrat (NO3), suatu bentuk yang tidak berbahaya, dalam proses nitrifikasi dengan bantuan bakteri nitrifikasi terutama Nitrosomonas dan Nitrobacter. Selain memerlukan bakteri tersebut dalam proses perombakan itu juga diperlukan jumlah oksigen yang cukup didalam air. Proses perombakan yang tidak sempurna dapat mengakibatkan akumulasi ion nitrit yang bersifat racun. Urin, bangkai hewan dan tumbuhan yang mati akan diuraikan oleh pengurai menjadi amonium dan amoniak. Bakteri nitrit yaitu Nitrosomonas mengubah amonium menjadi nitrit. Selanjutnya bakteri nitrat yaitu Nitrobacter mengubah nitrit menjadi nitrat. Proses pengubahan amonium menjadi nitrit dan nitrat inilah yang disebut nitrifikasi. Sebaliknya, proses pengubahan nitrit atau nitrat menjadi nitrogen bebas di udara disebut proses denitrifikasi.
G. Metode Panen
Metode panen yang digunakan dalam budidaya penggemukan kepiting ini terbagi menjai 2 kelompok yaitu
a. Panen Total
Panen Total dilakukan dengan cara mengeringkan kolam secara total sehingga produksi total dapat segera diketahui (Gambar 16 dan 17). Kerugian sistem ini adalah kepiting yang belum gemuk dan belum memenuhi syarat konsumsi ikut terpanen. Selain itu juga pada proses penangkapan yang lamban menyebabkan kepiting kepanasan sehingga mengakibatkan dehidrasi yang menurunkan kondisi fisik dan dapat pula menyebabkan kematian.
a. Panen Selektif
Panen Selektif dilakukan dengan menggunakan ambau tancap, tanpa harus mengeringkan kolam dan yang tertangkap dapat diseleksi. Kerugian sistem ini adalah banyak membutuhkan tenaga dan waktu, tetapi kondisi fisik dari kepiting tersebut masih dalam keadaan stabil.
Penangkapan dan penanganan kepiting konsumsi relatif sulit karena mudah lari, menyerang satu sama lainya yang mengakibatkan cacat fisik, maupun menyerang orang yang menangani sehingga mengakibatkan kegiatan penanganananya menjadi lambat . Oleh karena itu, panen dan penanganan kepiting perlu dilakukan oleh tenaga-tenaga terampil untuk menangkap dan mengikat. Pengelompokan kepiting hasil panen sudah harus dimulai sejak penanganan pertama terhadap ukuran, kelengkapan fisik, hidup/mati, jantan/betina, belum/sudah bertelur serta kegemukan (isi/keropos) sehingga langkah langkah selanjutnya bisa cepat dilakukan. Misalnya mana yang telah siap dijual, diolah, ditebarkan kembali untuk penggemukan dan atau produksi kepiting bertelur.
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992) bahwa sepintas lalu kepiting yang dijual di pasaran tampaknya sama saja, namun bagi penggemar yang sudah sering menyantap kepiting ada teknik tertentu untuk memilihnya. Bagi yang belum bisa, agak sulit untuk memilih kepiting yang berisi atau gemuk. Jika membeli kepiting pada saat sedang bulan purnama, kemungkinan besar akan diperoleh kepiting yang berisi, karena pada saat bulan purnama terjadi pasang air laut paling tinggi sehingga memberikan keleluasaan bagi kepiting untuk mencari makan, akan tetapi jika tidak sedang bulan purnama, perlu menggunakan teknik khusus untuk mendapatkan kepiting yang berisi. Beberapa cara yang dapat digunakan sebagai patokan dalam menentukan berisi atau tidaknya kepiting antara lain:
a. Apabila tanpa sebab yang jelas salah satu anggota tubuh kepiting lepas dengan sendirinya, maka sudah dapat dipastikan bahwa kepiting tersebut tidak berisi. Kepiting semacam ini harganya sangat murah, bahkan mungkin kurang diminati. Akan tetapi, jika menjumpai kepiting yang sedang mengganti organ tubuhnya yang lepas, maka kepiting tersebut kemungkinan besar berisi.
b. Kepiting betina mempunyai kumpulan telur yang disimpan di bagian dada. Jika kumpulan telur ini sudah terlihat, kemungkinan besar kepiting tersebut sudah berisi.
c. Dalam siklus hidupnya, kepiting akan mengalami molting beberapa kali. Selesai melaksanakan pergantian kulit, seluruh tubuh kepiting akan terasa lunak dan ini berarti kepiting tersebut cukup berisi.
d. Jika pangkal dan jari-jari kepiting yang paling belakang ditekan dengan jari tangan terasa keras, maka sudah dapat dipastikan bahwa kepiting tersebut berisi.
e. Kepiting yang berisi memiliki dada yang relative keras dan jika ditekan dengan jari tidak akan atau sedikit menggeluarkan air.
f. Kepiting yang berisi biasanya memiliki warna kulit di bagian dada tampak agak kemerah-merahan.
Menurut Nurdjana (1979) dalam Mardjono et al (1994), pada kepiting bakau terdapat 4 tingkat kematangan telur yang dapat dilihat dari luar yaitu :
1. Tingkat I : Belum matang (immature) yaitu belum ada tanda-tanda perkembangan telur pada calon induk
2. Tingkat II : Sedang dalam proses pematangan (maturing) perkembangan telur sudah mulai terlihat penuh, berwarna kuning namun masih berada di dalam tubuh kepiting. Telur ini akan terlihat berada di bawah karapas
3. Tingkat III : Matang (ripe) telur kepiting telah dibuahi dan dilekatkan pada abdomen (telah dikeluarkan). Pada saat baru dikeluarkan telur berwarna kuning muda. Telur ini akan mengalami perkembangan menjadi kuning tua, keabu-abuan, kehitaman, kemudian menetas. Perkembangan telur pada abdomen dari kuning muda sampai menetas memerlukan waktu antara 14-20 hari
4. Tingkat IV : Salin (spent), pada tingkat terakhir ini seluruh telur telah menetas sehingga ruang di bawah abdomen terlihat kosong.
H. Pasca Panen
Dalam rangkaian usaha budidaya kepiting, proses panen, penanganan hasil panen, distribusi dan pemasaran merupakan serangkaian kegiatan yang menunjang keberhasilan budidaya. Untuk mempertahankan mutu produk segar maupun olahan, maka kegiatan panen, penanganan hasil panen dan pendistribusiannya harus dipertimbangkan langkah-langkah yang tepat untuk memelihara kesehatan/kesegaran dan menghindari kerusakan fisik.
Beberapa prinsip penanganan kepiting hasil panen perlu memperhatikan faktor-faktor waktu, suhu, higienis sejak kepiting itu dipanen hingga diserahkan kepada pembeli atau diolah. Panen perlu dilakukan secara cepat dan hati-hati untuk menghindari stres yang berlebihan. Faktor suhu dapat mempengaruhi laju metabolisme, kesehatan, kesegaran dan laju dehidrasi. Kehilangan berat sekitar 3 - 4% akibat dehidrasi pada proses penyimpanan kepiting tanpa air dapat menyebabkan kematian. Penyimpanan kepiting tanpa air pada suhu kurang dari 12oC atau lebih besar dari 32oC dapat menyebabkan kematian kepiting.
Kepiting yang baru saja dipanen harus segera diikat supaya tidak lepas dan saling menyerang, memudahkan seleksi dan penanganan selanjutnya. Pengikatan dapat dilakukan dengan dua cara yakni:
1. Pengikatan seluruh kaki dan capit sehingga kepiting tidak mampu bergerak, Pengikatan ini mempunyai kelemahan bila dibiarkan dalam beberapa hari, ketika akan dilepas, kepiting menjadi lumpuh, tidak lincah sehingga dinilai lemah/sakit yang dapat menurunkan mutu.
2. Pengikatan pada capit saja sehingga kepiting masih mampu berjalan tetapi tidak dapat menyerang sedangkan pengikat cara kedua kepiting masih bisa lari kecuali yang lemah sehingga peluang lepas bila tempat penyimpanan tidak tertutup.
Kepiting yang telah diikat, disortir, disusun rapi di dalam keranjang atau semacamnya bersusun 3 - 5 lapis dengan kondisi keranjang cukup memiliki ventilasi/lubang untuk sirkulasi udara. Dalam keadaan ini dapat disimpan dalam ruangan lembab bersuhu rendah. Ditingkat petani sering ditutup dengan karung bersih dan basah dan segera dikirim kepada konsumen. Oleh karenanya, jumlah panen perlu diperhitungkan supaya cukup dan secara ekonomi menguntungkan dengan mempertimbangkan biaya transport. Bila karena sesuatu hal kepiting yang telah diikat tadak dapat segera dikirim kepada konsumen/pembeli, maka setiap 12 jam dapat dicelup dalam air asin selama beberapa menit untuk menghindari dehidrasi. Bila ada yang lemah sekali atau mati harus segera dipisahkan untuk menghindari kematian kepiting lainya. Kepiting yang lemah, kurang sehat ditandai dengan gerakan tangkai mata dan kaki renang yang lamban, serta keluar busa dari mulutnya. Meskipun telah diketahui kepiting tahan hidup tanpa air selama beberapa hari, namun untuk mempertahankan mutu perlu penanganan serius, misalnya bila terjadi satu ekor saja yang mati dan membusuk di antara kepiting yang banyak akan segera menular dan terjadi kematian yang lain, sehingga sering terdengar kasus kerugian karena tiba di tempat konsumen/tujuan kepiting banyak yang mati, padahal pada saat dikirim masih hidup.
I. Pemasaran
Pasar adalah rangkaian dari usaha budidaya, karena peningkatan produksi tidak akan memberikan dampak positif tanpa adanya potensi dan peluang pasar yang baik. Pengalaman menunjukkan bahwa banyak teknologi yang tidak berkembang karena produk yang dihasilkan tidak memiliki kepastian pasar dalam arti ekonomi secara luas. Disamping itu pemasaran produk kepiting segar perlu adanya alternatif pemasaran produk kepiting olahan untuk menghindari monopoli dan persaingan yang semakin ketat. Produk kepiting segar dan peyortiran disajikan pada gambar berikut :
1. Pemasaran Segar/Hidup
Untuk pemasaran kepiting segar, perlu memperhatikan prasyarat pasar seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Bagi kepiting segar yang tidak memiliki syarat karena keropos, ukuran belum mencukupi, telur belum penuh, cacat fisik dan lain-lain perlu upaya peningkatan mutu untuk memenuhi prasyarat tersebut. Pengelolaan ini akan menguntungkan apabila secara kumulatif memenuhi jumlah minimum untuk dipasarkan secara serentak. Satu kelemahan pasar di tingkat petani antara lain informasi pasar yang sering terlambat atau bahkan tidak menjangkau. Misalnya banyak petani penangkap tidak mengetahui prasyarat pasar, tidak mengetahui system grading, harga yang tinggi untuk kepiting betina bertelur dan lain-lain. Oleh karena itu perlu adanya upaya pembinaan dan bantuan dari pihak terkait sehingga petani bisa mendapatkan harga yang layak untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pembeli yang melakukan sorting dengan ketat akan melakukan seleksi ulang terhadap ukuran, kesehatan dengan melihat gerak tangkai mata, kaki renang, respon gerak setelah ikatan dilepas dan faktor higienis dari packingnya. Pemasaran dalam bentuk hidup harus segera dilakukan dengan cepat dan dini sehingga harus dipertimbangkan harus mempertimbangkan jumlah yang cukup untuk setiap panen dan pemasaran. Dengan budidaya diharapkan target produksi serta mutu produksi bisa dijamin.
2. Produk Olahan dari daging Afkiran
Tidak seperti pada pemasaran kepiting segar yang menuntut berbagai prasyarat penting, pada produk olahan kepiting lebih sederhana tidak membedakan jenis dan keutuhan fisik tetapi kesegaran dan faktor higienis dalam olahan sangat penting. Kepiting afkir untuk diperdagangkan dalam keadaan segar karena cacat fisik bisa segera diolah untuk dipisahkan bagian yang dapat dimakan (edible portion) yang berupa daging atau telurBagian terbesar dari tubuh kepiting berupa limbah (60%) dan sisanya (40%) merupakan edible portion. Pengolahan kepiting berupa proses pemisahan antara limbah (carapase, kaki jalan, kaki renang dan insang) daging dan telur dapat dilakukan dengan cara sederhana yaitu dengan merebus kepiting segar yang telah bersih selama 3 - 5 menit, kemudian dilepas carapace-nya, dipecah capit secara hati-hati. Daging dan telur diambil dengan bantuan pinset/garpu secara hati-hati sehingga bagian kotoran yang berwarna kuning kehitaman dan lunak tidak menkontaminasi telur/daging yang dapat menurunkan mutu, daging dan telur yang telah dipisahkan dapat disimpan dalam suhu dingin dengan kemasan yang baik. Produk olahan untuk konsumsi lokal di warung makan atau restoran dapat disajikan dalam variasi menu yang menarik seperti kepiting rebus, kepiting gule, goreng, sop daging, sop telur kepiting dan lain-lain dengan harga bervariasi.
V. KESIMPULAN DAN SARANA. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktek kerja lapang tentang Teknik penggemukan kepiting
(fattening crab) dapat di simpulkan sebagai berikut:
1. Metode yang digunakan pada penggemukan kepiting
(fattening crab) di dalam tambak pada intinya sama dengan metode lainya yaitu meliputi pemilihan lokasi, persiapan sarana dan prasarana, persiapan lahan, seleksi bibit, manajemen pakan, manajemen kualitas air, panen, pasca panen dan pemasaran. Perbedaannya terletak pada konstruksinya saja.
2. Jenis yang dominan yang terdapat pada penggemukan kepiting
(fattening crab) adalah
Scylla serrata walaupun ada beberapa ekor dari jenis yang lain seperti
Scylla transquebarica dan
Scylla olivacea.
3. Kontruksi wadah budidaya di tambak ini merupakan modifikasi dari wadah budidaya pagar tancap, perbedaanya hanya di pagar atau pembatasnya yang terbuat dari waring sehingga memungkinkan kontruksi bertahan lama. Sedangkan kualitas perairannya masih memungkinkan untuk budidaya kepiting.
4. Pertumbuhan pada penggemukan kepiting
(fattening crab) berkisar 15 sampai 25 hari dan kelangsungan hidup atau sintasan pada enam kali produksi berkisar antara 27,38 – 64,70 %, hal ini menandakan pertumbuhannya cukup baik namun perlu adanya kajian agar survival rate bisa meningkat.
B. SaranDengan memahami potensi usaha
fattening crab yang sangat prospektif, terutama untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, disamping pemanfaatan lahan-lahan tidur menjadi lahan produktif, maka dipandang sangat tepat sekali jika Pemerintah Kota bekerja sama dengan Mahasiswa FPIK UB untuk memprogramkan pertambakan fattening crab tersebut yang didahului dengan pengadaan pilot project. Dan diharapkan menjadi core competence daerah yang dapat menaikkan nilai tambah ekonomi dan daya saing produksi yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKAAfrianto E & Liviawaty E, 1992. Pemeliharaan Kepiting. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Anonymous, 2004. Pemasaran Kepiting Bakau (Scylla serrata). Pemerintah Kota Tarakan. Depertemen Kelautan Perikanan. Tarakan.
Aria Perwira (2009). Kimia Lingkungan.Artikel.http://ayafarm.com/?tag=amoniak /acces/28Januari2010/Time 20:55
Arif U, 2008. Laju pertumbuhan Kepiting Bakau (scylla Serata) dengan Pemberian Pakan Berbeda. Univ.Borneo, Tarakan.
Arianty L. 1997. Pengaruh Dosis Pakan Yang Berbeda Terhadap Penggemukan Kepiting Bakau (Scylla serrata). Universitas Mulawarman. Samarinda.
Djatmika, 1986. Usaha Budidaya Ikan Lele. Simpleks. Jakarta.
Djangkaru Z, 1974. Makanan Ikan Lembaga Penelitian Perikanan. Direktorat Jendral Perikanan. Jakarta.
Ghufran H Kordi M. 2004. Penanggulangan Hama Dan Penyakit Ikan. Bhineka Cipta. Jakarta.
http://ajiemethod.blogspot.com// acces.04Desember2009/Time: 22:27.
http://akuakulturunhas.blogspot.com/ acces.04Desember2009/Time: 22:10.
http://bontocina-kaizen.blogspot.com// acces.05Desember2009/Time: 01:02.
http://ikanmania.wordpress.com// acces.04Desember2009/Time: 23:12.
http://suaramerdeka.com// acces.04Desember2009/Time: 20:07.
http://www.slideshare.net/NURRIJAL/kepiting-bakau/acces.04Desember2009/Time: 20:31.
Kanna I, 2002. Budidaya Kepiting Bakau. Kanisius, Yogyakarta.
Kasry A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau Dan Biologi Ringkas. Bhatara. Jakarta.
Kurnain A, 2008. Teknik Budidaya Kepiting Cangkang Lunak Di Tambak. Universitas Borneo, Tarakan.
Kuntiyo, A. Zainal, dan Supratno . 1993. Pedoman budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) Di Tambak Balai Budidaya Air Payau. Jepara.
Mardjono, M., Anindiastuti, N. Hamid, I.S. Djunaidah, dan W.H. Satyantani, 1994. Pedoman Pembenihan Kepiting Bakau (Scylla serrata). Balai Budidaya Air Payau, Direktorat Jenderal Perikanan.
Mustafa (2002). Pembesaran Komoditas Perikanan Di Tambak Tanah Sulfat masam. BRPBAP.Maros.
http://www.bees.unsw.edu.au/school/staff/Sammut_brochure3.pdf/acces 28Jan2010/Time19:00.
Oemardjati, B, S. dan W. Wardhana. 1992. Taksonomi Avertebrata Air. Pengantar Praktikum laboraturium. Universitas Indonesia, Jakarta.
Peter and Sivasothi (2001). A Guide to Mangroves of Singapore. http://mangrove. nus .edu.sg /guidebooks/text/2044.htm/15Januari2010/Time:18:59
Raizika Carly (2009). Budidaya Soka. Kota Tarakan.
http://soka-farm.blogspot.com/search/label/Tahapan%20Budidaya%20soka/ acces/28Jan2010/Time19:30.
Rida’s (2008). Jalan Terjal Budidaya Kepiting. Kota Tarakan.
http://ridawidyastuti.blog/. friendster.com/category/fishery/acces.05Desember2009/01:00.
Sutarman, 1993. Petunjuk Praktis Pembelian Udang Windu Skala Rumah Tangga. Kanisius. Yogyakarta.
Suyadi, 2005. Pengaruh Penanggalan Capit (cheliped) Terhadap Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Kepiting Bakau (scylla serrata).
Tribawono D, Mulyantoro E, dan Brotowidjoyo. 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Liberty. Yogyakarta.
Wardoyo, S.T.H.1981. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian Dan Perikanan. Training Analisis Dampak Lingkungan. IPB. Bogor.