29 Jan 2010

TEKNIK PENGGEMUKAN KEPITING BAKAU ( Scylla sp) DI TAMBAK KOTA TARAKAN

I. PENDAHULUAN
A. Latar Balakang
Perencanaan dan pengembangan budidaya Kepiting perlu mendapat perhatian dari berbagai aspek untuk tujuan kelestarian sumberdaya, peningkatan produksi dan pemenuhan peluang pasar secara seimbang dan berkelanjutan. Diperkirakan perkembangan usaha perdagangan kepiting dimasa mendatang akan terus meningkat dengan adanya indikasi antara lain peluang pasar ekspor terbuka luas dengan sedikitnya ada 11 negara konsumen, potensi lahan bakau yang merupakan habitat hidupnya cukup besar dan belum digali secara optimal, dan pengetahuan budidaya yang semakin meningkat baik budidaya pembenihan, pembesaran serta penggemukan. Budidaya kepiting merupakan salah satu prospek bisnis yang sangat menjanjikan, disamping biaya perawatan dan resiko yang sangat kecil. Kepiting juga merupakan makanan ekspor yang sangat diminati oleh konsumen penggemar kepiting, selain itu juga kepiting bakau memiliki nilai gizi yang tinggi. Pemasaranya pun tidak sulit karena kebutuhannya cukup tinggi untuk restoran sea food.
Sebagai komoditas ekspor, kepiting memiliki harga jual cukup tinggi baik dipasaran dalam maupun luar negeri, namun tergantung pada kualitas kepiting (ukuran tingkat kegemukan). Penggemukan kepiting (fattening crab) dapat dilakukan terhadap kepiting jantan dan betina dewasa tetapi dalam keadaan kosong/kurus dan dalam proses budidaya penggemukan kepiting tidak mengalami proses moulting sehingga tidak terjadi penambahan panjang dan lebar karapas. Berbeda dengan proses budidaya pembesaran yang mengalami proses moulting dengan frekuensi antara 4 sampai 5 kali, sehingga waktu yang diperlukan pada proses pembesaran berkisar antara 3 sampai 4 bulan. Lain halnya dengan budidaya penggemukan kepiting hanya butuh 10 – 20 hari kepiting pun menjadi berisi/gemuk dan harganya mencapai 5 hingga 10 kali lipat dari harga kepiting yang kurus, dengan demikian dapat meningkatkan nilai tambah bagi pemilik usaha tambak penggemukan kepiting.
Pada mulanya kepiting bakau hanya dianggap hama oleh petani tambak, karena sering membuat kebocoran pada pematang tambak. Tetapi setelah mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, maka keberadaannya banyak diburu dan ditangkap oleh nelayan dan bahkan telah mulai dibudidayakan secara tradisional seperti di keramba bambu, keramba trawl, dan bambu tancap dan masing-masing metode budidaya tersebut mempunyai kelebihan dan kelemahan. Mengingat permintaan pasar ekspor akan kepiting bakau yang semakin meningkat dari tahun ke tahun maka usaha ekstensifikasi untuk meningkatkan produksi kepiting bakau mulai dirintis di beberapa daerah di tambak-tambak udang yang kurang produktif lagi. Oleh karena itu perlu adanya kajian untuk tambak alih lahan tersebut agar pemanfaatannya dapat dioptimalkan.

B. Tujuan
Tujuan melaksanakan praktek kerja lapangan ini adalah untuk mengetahui:
1. Metode penggemukan kepiting baka (fattening crab) di tambak Kota Tarakan.
2. Jenis kepiting yang dibudidayakan.
3. Konstruksi wadah budidaya serta parameter kualitas air.
4. Sintasan atau survival rate kepiting bakau yang dibudidayakan.

C. Manfaat
Setelah melakukan praktek kerja lapangan diharapkan agar dapat menyimpulkan kekurangan dan kelebihan metode penggemukan kepiting (fattening crab) di tambak serta dapat memberikan informasi untuk mahasiswa studi rekayasa budidaya perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakan.

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi Kepiting Bakau (scylla serrata)

Kepiting bakau merupakan kepiting hijau yang dapat ditemukan dalam perairan dangkal pada sekitar hutan bakau (mangrove dan estuaria). Klasifikasi kepiting bakau menurut (Oemardjati dan Wardhana, 1992) adalah sebagai berikut :
Phylum:Arthropoda
Class :Crustasea
Ordo:Decapoda
Sub Ordo:Brachyura
Family:Portunidae
Sub family:Lipolinaae
Genus:Scylla
Spesies:Scylla serrata

B. Morfologi Kepiting Bakau (scylla sp)
Kepiting adalah binatang crustacea berkaki sepuluh, yang biasanya mempunyai "ekor" yang sangat pendek (bahasa Yunani: brachy = pendek, ura = ekor), atau yang perutnya sama sekali tersembunyi di bawah thorax. Hewan ini dikelompokkan ke dalam Phylum Athropoda, Sub Phylum Crustacea, Kelas Malacostraca, Ordo Decapoda, Suborder Pleocyemata dan Infraorder Brachyura. Tubuh kepiting umumnya ditutupi dengan exoskeleton (kerangka luar) yang sangat keras, dan dipersenjatai dengan sepasang capit. Kepiting hidup di air laut, air tawar dan darat dengan ukuran yang beraneka ragam, dari pea crab, yang lebarnya hanya beberapa milimeter, hingga kepiting laba-laba Jepang, dengan rentangan kaki hingga 4 m (Anonymous, 2004).
Walaupun kepiting mempunyai morfologi (bentuk dan ukuran) yang beragam tetapi seluruhnya mempunyai beberapa kesamaan pada bentuk tubuh. Seluruh kepiting mempunyai chelipeds dan empat pasang kaki jalan. Pada bagian kaki juga dilengkapi dengan kuku dan sepasang penjepit, chelipeds terletak di depan kaki pertama dan setiap jenis kepiting memiliki struktur chelipeds yang berbeda-beda. Chelipeds dapat digunakan untuk memegang dan membawa makanan, menggali, membuka kulit kerang dan juga sebagai senjata dalam menghadapi musuh. Disamping itu, tubuh kepiting juga ditutupi dengan carapase. Carapase merupakan kulit yang keras atau dengan istilah lain exoskeleton (kulit luar) berfungsi untuk melindungi organ dalam bagian kepala, badan dan insang.
Kepiting sejati mempunyai lima pasang kaki; sepasang kaki yang pertama dimodifikasi menjadi sepasang capit dan tidak digunakan untuk bergerak. Dihampir semua jenis kepiting, kecuali beberapa saja (misalnya, Raninoida), perutnya terlipat di bawah cephalothorax. Bagian mulut kepiting ditutupi oleh maxilliped yang rata, dan bagian depan dari carapase tidak membentuk sebuah rostrum yang panjang. Insang kepiting terbentuk dari pelat-pelat yang pipih (phyllobranchiate), mirip dengan insang udang, namun dengan struktur yang berbeda. Insang yang terdapat di dalam tubuh berfungsi untuk mengambil oksigen biasanya sulit dilihat dari luar. Insang terdiri dari struktur yang lunak terletak di bagian bawah carapase. Sedangkan mata menonjol keluar berada di bagian depan carapase.

C. Jenis Kepiting bakau dan tingkah lakunya
Menurut Kanna, (2002), kalau dilihat secara sepintas ketiga spesies tidak tampak perbedaannya. Tetapi jika diamati lebih teliti perbedaan ketiga spesies kepiting akan tampak dengan jelas.
1. Scylla serrata
Spesies Scylla serrata memiliki warna relatif sama dengan warna lumpur, yaitu cokelat kehitam-hitaman pada karapasnya dan putih kekuning-kuningan pada abdomennya. Pada propodus bagian atas terdapat sepasang duri yang runcing dan 1 buah duri pada propodus bagian bawah (Gambar 1). Selain itu habitat kepiting bakau spesies ini sebagian besar di hutan-hutan bakau di perairan Indonesia.
2. Scylla tranquebarica
Spesies Scylla tranquebarica memiliki warna hijau tua dengan kombinasi kuning sampai orange pada karapasnya dan putih kekuning-kuningan pada bagian abdomennya. Pada propodus bagian atas terdapat sepasang duri, tetapi tidak terlalu runcing dan 1 buah duri yang tumpul pada abdomen bagian bawah (Gambar 2).
3. Scylla oceanica
Spesies Scylla oceanica lebih didominasi dengan warna coklat tua dan ukuran badannya jauh lebih besar dari pada spesies yang lain (Gambar 3). Dengan capit yang lebih panjang, maka spesies kepiting ini lebih cepat memburu makanan. Namun, harga spesies kepiting ini lebih rendah dibandingkan dengan spesies kepiting yang lain sehingga petani tidak terlalu suka membudidayakannya. Kepiting ini biasa ditemukan di perairan Afrika dan Laut Merah (The Red Sea).
Dari ketiga jenis kepiting tersebut diatas, Scylla serrata pada umur yang sama umumnya berukuran lebih kecil dibandingkan kedua jenis lainnya. Tetapi dari segi harga dan permintaan pasar, jenis pertama tadi lebih unggul (http://www.kliping dunia ikan dan memancing).
Secara umum tingkah laku dan kebiasaan kepiting bakau yang dapat diamati adalah sbb:
Suka berendam dalam lumpur dan membuat lubang pada dinding atau pematang tambak pemeliharaan. Dengan mengetahui kebiasaan ini, maka kita dapat merencanakan atau mendesain tempat pemeliharaan sedemikian rupa agar kemungkinan lolosnya kepiting yang dipelihara sekecil mungkin.
Kanibalisme dan saling menyerang, sifat inilah yang paling menyolok pada kepiting sehingga dapat merugikan usaha penanganan hidup dan budidayanya. Karena sifatnya yang saling menyerang ini akan menyebabkan kelangsungan hidup rendah dan menurunkan produktivitas tambak.
Moulting atau ganti kulit. Setiap terjadi ganti kulit, kepiting akan mengalami pertumbuhan besar karapas maupun beratnya. Umumnya pergantian kulit akan terjadi sekitar 18 kali mulai dari stadia instar sampai dewasa. Selama proses ganti kulit, kepiting memerlukan energi dan gerakan yang cukup kuat, maka bagi kepiting dewasa yang mengalami pergantian kulit perlu tempat yang cukup luas.
Kepekaan terhadap polutan, kualitas air sangat berpengaruh terhadap ketahanan hidup kepiting. Penurunan mutu air dapat terjadi karena kelebihan sisa pakan yang membusuk. Bila kondisi kepiting lemah, misalnya tidak cepat memberikan reaksi bila dipegang atau perutnya kosong bila dibelah, kemungkinan ini akibat dari menurunnya mutu air. Untuk menghindari akibat yang lebih buruk lagi, secepatnya pindahkan kepiting ke tempat pemeliharaan lain yang kondisi airnya masih segar.

D. Tipe Wadah Budidaya Kepiting
Berbagai metode budidaya yang sering digunakan sebagai wadah pemeliharaan antara lain :
1. Metode Karamba Bambu
Pemeliharaan dengan menggunakan sistem karamba yang terbuat dari bahan bambu pada umumnya sudah lama digunakan oleh para petani tambak, selain cara pembuatannya relatif gampang, juga bahan yang digunakan sangat mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau. Namun disisi lain metode ini terbatas dengan padat tebar yang relatif sedikit, ini disebabkan oleh ruang gerak kepiting yang sempit, sehingga dikhawatirkan kepiting mudah untuk saling memangsa (kanibalisme). Metode bambu yang biasa digunakan pada budidaya kepiting bakau disajikan pada gambar 4.
2. Metode Karamba Jaring Trawl/madang
Karamba dengan bahan dari jaring (polytheline) adalah merupakan hasil modifikasi dari karamba dari bahan bambu, wadah pemeliharaan ini lebih kuat karena dindingnya dari bahan jaring, selain lebih tahan juga mempunyai kelebihan sirkulasi air lebih lancar dibanding dengan bahan dari bambu. Diperkirakan daya tahan jenis karamba ini, sampai 2 tahun lebih sedangkan proses pembuatannya pun sangat praktis. Karamba jaring trawl/madang disajikan pada gambar berikut :
3. Metode Pagar Tancap
Metode pagar tancap merupakan bagian dari pengembangan wadah sistem budidaya penggemukan kepiting yang memanfaatkan bahan dari bambu yang dibelah sebagai dinding/pagar, rangka pagar terbuat dari balok kayu sebagai tempat untuk mengikat belahan bambu tersebut.
Konstruksi pembuatan pagar bambu biasa digunakan pada areal tambak dengan ukuran yang bervariasi antara 15 x 8 meter atau 20 x 10 meter, potongan bambu yang telah dibelah – belah, kemudian ditancap kedasar tanah sedalam 0,5 meter dan disusun secara vertikal dengan sedikit memberi celah agar sirkulasi air lancar.

E. Pakan Dan Kebiasaan Makan
Berbagai jenis pakan yang biasa diberikan pembudidaya kepiting seperti : ikan rucah, usus ayam, kulit sapi, kulit kambing, bekicot, keong sawah, dll. Dari jenis pakan tersebut, ikan rucah segar lebih baik ditinjau dari fisik maupun kimiawi dan peluang untuk segera dimakan lebih cepat karena begitu ditebar tidak akan segera dimakan oleh kepiting.
Pemberian pakan pada usaha pembesaran hanya bersifat suplemen dengan dosis sekitar 5%. Dosis pemberian pakan sangat tergantung dengan jumlah kepiting yang ditebar, berdasarkan hasil uji coba yang sering dilakukan untuk penggemukan kepiting dengan menggunakan karamba sebanyak 10 – 15 % dari total biomassa dengan frekuensi pemberian pakan 2 x sehari, pagi (08.00 wib) dan sore hari (18.30). Pemberian pakan pada pagi hari dosis lebih sedikit dibanding sore hari mengingat kepiting lebih aktif mencari pakan dalam suasana gelap (nocturnal).
Kemauan makan kepiting muda biasanya lebih besar, karena pada periode ini dibutuhkan sejumlah makanan yang cukup banyak untuk pertumbuhan dan proses ganti kulit. Nafsu makan akan berkurang pada saat kepiting sedang bertelur, dan puncaknya setelah telur keluar sepertinya kepiting berpuasa. Pemberian pakan secara rutin, tepat dosis merupakan hal yang mutlak dilakukan dalam usaha pemeliharaan penggemukan kepiting, keterbatasan ruang gerak dan persaingan habibat dan makanan menjadikan kepiting bisa saling memangsa sesamanya (kanibalisme). Sifat kepiting yang satu ini tidak bisa terhindarkan apabila ransum pakan yang diberikan tidak cukup jumlah. Kualitas pakan pun harus menjadi prioritas, sebab sifat kepiting tidak menyukai pakan sudah busuk, tetapi pakan yang berbau amis dan merangsang sangat disukai. Jika pakan busuk tetap berikan kepiting tidak akan menyentuhnya yang akhirnya menjadi sisa dan dapat mencemari air tambak.

F. Budidaya Penggemukan Kepiting Bakau
Budidaya kepiting terdiri atas: pembesaran, penggemukan, produksi kepiting bertelur, dan kepiting lunak/soka. Pembesaran umumnya dilakukan di dalam tambak baik dengan maupun tanpa pagar bambu atau waring, penggemukan dan produksi kepiting bertelur dilakukan dalam kurungan yang terbuat dari bambu atau dalam keramba apung, dan kepiting lunak dipelihara dalam keranjang yang ditempatkan dalam tambak.
Untuk penggemukan dan produksi kepiting bertelur, kepiting yang dipelihara biasanya sudah berukuran ekspor (250-300 g/ekor) namun masih kurus/keropos atau belum bertelur. Lama pemeliharaan tipe ini sekitar 15-25 hari. Pemilihan spesies dan teknik budidaya perlu dilakukan dengan cermat agar usaha ini lebih menguntungkan. Untuk tujuan produksi daging, budidaya sebaiknya diarahkan kekultur monoseks jantan terutama karena jenis kepiting ini lebih cepat besar sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai ukuran ekspor lebih singkat.

G. Budidaya Kepiting Soka
Raizika (2009), sebelum memulai budidaya kepiting soka hal utama yang perlu kita perhatikan adalah lahan atau tempat yang akan kita gunakan sebagai tempat dilaksanakannya budidaya kepiting soka, lahan tersebut dikenal dengan istilah tambak yang mengandung air payau. Luas lahan tergantung dari keinginan kita, semakin luas tambak semakin banyak kita bisa menebarkan bibit kepiting soka. Minimal luas lahan sekitar 1 Ha, dimana dalam tambak seluas itu kita dapat menebarkan bibit sekitar 10 ribu ekor bibit.
Air tambak tidak perlu dikuras maupun dibersihkan dari organik lain, hal ini berlainan dengan proses penyiapan tambak untuk budidaya udang. Bahan organik secara alamiah dapat membantu proses ganti kulit (moulting) pada kepiting. Kedalaman air antara permukaan dengan dasar tambak disarankan 70 cm ke atas, apabila kurang dari itu juga dapat menghambat si kepiting yang akan ganti kulit. Proses pergantian air harus selalu dilakukan sesuai dengan tabel air yang bisa kita peroleh di Departemen Kelautan dan Perikanan, air yang selalu baru membawa organik baru dari luar yang dapat menambah makanan organik bagi kepiting itu sendiri.
Setelah bibit kepiting siap, proses selanjutnya adalah memotong kedua capit dan ke enam kaki jalan serta memotong satu kaki renangnya (membuat stress), pemotongan satu kaki renang juga bertujuan untuk mempercepat proses ganti kulit atau moulting. Hal ini sudah dibuktikan dengan mangambil contoh bibit yang kedua kaki renangnya tidak dipotong dengan bibit yang satu kaki renangnya dipotong, proses ganti kulit yang dialami bibit kepiting dengan satu kaki renang dapat diperoleh dalam jangka waktu 15 hari sedangkan bibit yang kedua kaki renangnya tidak di potong mengalami proses ganti kulit lebih lama yaitu mencapai waktu 30 - 35 hari. menurut pakar perikanan dan kelautan proses ganti kulitnya kepiting dapat dibuat tanpa memotong kakinya, yaitu dengan menyuntikan ekstrak bayam. Proses adaptasi terhadap kepiting bisa dilaksanakan maupun tidak menyesuaikan dengan kondisi lingkungan daerah masing - masing. Setelah bibit sudah dipotong kemudian dimasukan kedalam karamba yang telah disiapkan sebelumnya. Proses memasukan bibit dianjurkan pada saat hari mulai gelap atau pada saat pagi hari dimana kondisi suhu udara sudah atau masih sejuk, hal ini membantu agar bibit yang sudah dipotong dan dalam keadaan stres tidak kaget atau tambah stress.

H. Budidaya Pembesaran Kepiting Bakau
Tambak terlebih dahulu dipasangi pagar bambu pada bagian dalam pematang setinggi 1,25 m di atas pelataran tambak dan 50 cm terbenam pada dasar tambak. Setiap petak tambak diberi ban bekas 10 buah/1000 m2 sebagai pelindung. Dalam persiapan tambak dilakukan pemberantasan hama dengan menggunakan saponin dosis 30 ppm, pengapuran dengan kapur pertanian dosis 2 ton/ha, pemberian pupuk urea dan tsp masing-masing 200kg/ha dan 100kg/ha. Kepiting bakau dengan berat awal 28 g/ekor di tebar dengan kepadatan 1 ekor/2m2. Rasio jantan:betina kepiting bakau yang ditebar adalah 1 :1 pakan yang diberikan berupa ikan rucah kering sebanyak 5% berat badan /hari. Pergantian air dilakukan setiap hari sekitar 10% dari volume total secara gravitasi. Pengapuran sebanyak 2kg/m2 pematang, ditebar merata pada pematang, dilakukan setiap 2 minggu berat kepiting bakau setelah di pelihara 98 hari dapat mencapai 166g/ekor, Mustafa (2002).

I. Tehnik Budidaya dan Parameter kualitas Air
1. Pemilihan Lokasi
Seperti halnya pada usaha budidaya perikanan yang lain, pada usaha budidaya kepiting ini juga memerlukan persyaratan lokasi yang harus dipenuhi. Hal ini agar dapat mencapai keberhasilan yang diimpikan. Menurut Kanna, (2002), persyaratan lokasi budidaya kepiting antara lain :
Sarana mobilitas lancar
Banyak ditumbuhi pohon bakau atau api-api
Kedalaman tidak lebih dari 75 cm
Tektur tanah lumpur liat berpasir (sandy loam)
Kadar garam antara 15 - 30 ‰
Suhu bervariasi antara 24 - 32oC
pH air antara 6,5 - 8,5
Air tidak tercemar limbah racun dan pengaruh banjir

2. Pemilihan Benih
Kesehatan benih merupakan satu diantara faktor yang menunjang keberhasilan dalam usaha penggemukan kepiting. Oleh sebab itu pemilihan dan pengelolaan benih harus benar dan tepat. Kesehatan benih juga bisa dilihat dari kelengkapan kaki kakinya. Hilangnya capit akan berpengaruh pada kemampuan untuk memegang makanan yang dimakan serta kemampuan sensorisnya. Walaupun pada akhirnya setelah ganti kulit maka kaki yang baru akan tumbuh tetapi hal ini memerlukan waktu, belum lagi adanya sifat kanibalisme kepiting, sehingga kepiting yang tidak bisa jalan karena sedang ganti kulit sering menjadi mangsa kepiting lainnya. Untuk itu maka harus dipilih benih yang mempunyai kaki masih lengkap. Benih kepiting yang kurang sehat warna karapas akan kemerah-merahan dan pudar serta pergerakannya lamban.

3. Parameter kualitas Air
a. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman atau pH air menunjukkan aktivitas ion hydrogen dalam larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion hydrogen (dalam mol per liter) pada suhu tertentu atau dapat di tulis :
pH = -log (H)+
Air murni (H2O) berasosiasi sempurna sehingga memiliki ion H+ dan ion OH- dalam konsentrasi yang sama, dan dalam keadaan demikian pH air murni =7. Semakin tinggi konsentrasi ion H+, akan semakin rendah konsentrasi ion OH- dan pH<7,> 7, maka perairan bersifat basa (alkalis). Perairan umum dengan segala aktivitas fotosintesis dan respirasi organisme yang hidup di dalamnya membentuk reaksi berantai karbonat-karbonat sebagai berikut:

CO2+H2O + H2CO3 ----------------------->>>>>>>>> H++HCO3 + 2H+ + CO32

Semakin banyak CO2 yang dihasilkan dari hasil respirasi, reaksi bergerak ke kanan dan secara bertahap melepaskan ion H+ yang menyebabkan pH air turun. Reaksi sebaliknya terjadi dengan aktivitas fotosintesis yang membutuhkan banyak ion CO2 menyebabkan pH air naik. pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif, malah dapat membunuh ikan. Pada pH rendah (keasaman yang tinggi) kandungan oksigen terlarut akan berkurang, sebagai akibatnya konsumsi oksigen menurun, aktivitas pernapasan naik, dan selera makan akan berkurang. Hal yang sebaliknya terjadi pada suasana basa. Atas dasar ini maka usaha budi daya ikan akan berhasil baik dalam air dengan pH 6,5-9,0 sedangkan selera makan tertinggi didapat pada pH air 7,5-8,5.

b. Amoniak (NH3)
Amoniak (NH3) dalam air berasal dari perombakan bahan organik dan pengeluaran hasil metabolisme ikan/kepiting melalui ginjal dan jaringan insang. Di samping itu, amoniak di tambak juga dapat terbentuk sebagai hasil proses dekomposisi protein yang berasal dari sisa pakan atau plankton yang mati.
Pada budi daya secara intensif, jumlah pakan yang diberikan kepada hewan budidaya sangat banyak akan mempercepat peningkatan konsentrasi amoniak. Sebagian besar pakan akan dimanfaatkan oleh hewan budidaya untuk pertumbuhannya, namun sebagian lagi akan diekskresikan dalam bentuk kotoran padat amoniak terlarut dalam air. Kotoran tersebut selanjutnya akan mengalami perombakan menjadi NH3 dalam bentuk gas. Gas amoniak selanjutnya sebagai berikut:
Ikan menghasilkan
NH3+H2O >>>> NH4OH >>>> NH4OH >>>> NH4 >>>> OH-
Tidak terionisasi (bersifat racun)

Kandungan amoniak dalam air akan bertambah sesuai dengan kenaikan aktivitas hewan budidaya dan suhu air. Ikan/kepiting sangat peka terhadap amoniak dan senyawanya. Ternyata daya hemoglobin ikan terhadap oksigen berkurang dengan cepat sampai tinggal hanya sepertujuhnya jika konsentrasi amoniak di dalam air mencapai 1ppm. Dalam praktek di lapangan, perairan sudah dikategorikan tercemar jika mengandung ammonia 1 ppm. Perairan yang baik untuk budi daya ikan/kepiting adalah yang mengandung amoniak kurang dari 0,1 ppm. Ikan mas mulai terganggu pertumbuhannya dalam air yang mengandung amoniak, 1,20 ppm sedangkan konsentrasi diatas 2 ppm dapat membunuh sebagian besar jenis ikan. Dalam perairan yang belum tercemar ternyata kandungan amoniak masih jauh di bawah 0,02 ppm dan konsentrasi ini dianggap aman bagi ikan-ikan budidaya.

c. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen dibutuhkan udang untuk bernafas. Ketersediaan oksigen di dalam air sangat menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan kepiting. Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk kepiting adalah 4 sampai 8 ppm. Kandungan DO dipengaruhi oleh arus, gelombang, dan aktivitas fitoplankton. Rendahnya kandungan oksigen terlarut di dalam tambak sering terjadi pada musim kemarau yang tidak berangin. Selain itu, penurunan kandungan oksigen juga dipengaruhi oleh suhu rendah pada malam hari yang diikuti oleh peningkatan aktivitas fitoplankton. Kondisi ini ditandai dengan naiknya kepiting ke permukaan air bahkan ke pematang. Cara mengatasinya, bisa dengan penggunaan aerator dan juga dilakukan pergantian air pada dini hari.

d. Salinitas
Secara sederhana, salinitas disebut juga dengan kadar garam atau tingkat keasinan air. Secara ilmiah, salinitas didefenisikan dengan total padatan dalam air setelah semua karbonat dan senyawa organik dioksidasi, dan bromida serta iodida dianggap sebagai klorida. Besarnya salinitas dinyatakan permill (ppt: gram per kilogram). Untuk mengukur salinitas air tambak dapat digunakan salinometer, refraktometer atau hendraktometer. kepiting menyukai air bersalinitas 15-30 ppt. Penurunan salinitas air tambak dibawah 10 ppt dapat membuat kondisi kepiting melemah, dan peka terhadap serangan penyakit. Jika diatas 30 ppt, sebagian besar energi kepiting digunakan untuk beradaptasi atau berosmoregulasi, sehingga pertumbuhannya terhambat.

e. Kekeruhan
Kekeruhan air tambak sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan hewan budidaya. Zat atau material terlarut (tersuspensi) seperti lumpur, senyawa organik dan anorganik, plankton, dan mikroorganisme diduga kuat sebagai penyebab kekeruhan air. Kekeruhan menyebabkan sinar yang sampai ke air lebih banyak dihamburkan dan diserap daripada yang ditransmisikan ke sekelilingnya. Padahal sinar matahari ini sangat diperlukan oleh plankton yang terdapat dalam air. Karena itu, kondisi air tambak diusahakan tidak terlalu keruh. Pengukuran kekeruhan air sering dilakukan dengan melihat tingkat kecerahan air. Biasanya dilakukan dengan menggunakan secchi disk (keping secchi). Tingkat kecerahan yang diharapkan untuk budidaya adalah 25 – 40 cm. Artinya, daya tembus maksimum sinar matahari ke dalam air hanya 40 cm. Daya tembus sinar matahari yang tidak terlalu dalam tersebut disebabkan oleh banyaknya plankton yang menghuni perairan sehingga persediaan makanan alaminya cukup tersedia. Sementara itu, jika kecerahan perairan tambak sampai ke dasar (100 – 150 cm), berarti perairan tersebut tidak subur karena hanya mengandung sedikit plankton.

f. Nitrit (NO2) dan Nitrat (NO3)
Adanya oksigen di dalam air tambak akan mengubah amoniak menjadi nitrat dan nitrit (nitrifikasi). Nitrat terbentuk dari reaksi antara amoniak dan oksigen yang terlarut dalam air. Besarnya kadar nitrat di dalam tambak yang masih bisa ditoleransi berada dibawah 0,1 ppm. Sementara itu, kadar nitrit yang diperbolehkan tidak lebih dari 0,5 ppm. Kadar nitrat dan nitrit di dalam air tambak yang melebihi ambang batas tersebut akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup hewan yang dipelihara. Pengukuran kadar nitrat dan nirit menggunakan instrument kit dengan kisaran pengukuran 0,05 – 2 ppm. Alat ini juga berfungsi sebagai pengukur kadar Cd (cadmium) dalam air tambak, (http://akuakulturunhas.blogspot.com/).

4. Pemanenan
Petani memanen kepiting dilakukan secara selektif yaitu dengan cara memasang ambau tancap setelah kepiting yang dipelihara berkurang maka dapat dipanen secara total dengan cara membuka saluran air sehingga air di tambak menjadi kering. Kepiting yang sedang matang telur mempunyai harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. Kemudian kepiting diikat kakinya dengan tali raffia atau karet kemudian dimasukkan ke dalam keranjang, kepitingpun siap untuk dibawa ke pos pengumpul kepiting. Yang perlu diperhatikan adalah tempat dan waktu penyimpanan sebelum didistribusikan kepada konsumen menentukan kesegaran dan laju dehidrasi karena kehilangan berat sekitar 3 - 4% dapat menyebabkan kematian.


III. METODOLOGI
A. Waktu dan tempat
Praktek kerja lapangan ini dilaksanakan di Kelurahan Karang Anyar Kecamatan Tarakan Barat, PKL ini dilaksanakan mulai dari tanggal 20 November 2009 sampai dengan 25 Desember 2009. Dengan perincian 5 hari survey dan wawancara selanjutnya 30 hari praktek di lokasi budidaya.

B. Alat dan Bahan
1. Alat
Alat yang digunakan pada praktek kerja lapangan terbagi menjadi :
a. Alat yang digunakan selama pelaksanaan budidaya kepiting bakau (Scylla sp) :
No: Nama Alat: Fungsi atau Kegunaan
1.Alat tulis menulis : Untuk mencatat data selama PKL
2.Kalkulator : Sebagai alat hitung analisis data
3.Kamera Digital : Dokumentasi selama kegiatan PKL berlangsung
4.Gunting : Alat pemotong tali untuk melepas bibit
5.Ambau Tancap : Sebagai Alat tangkap pada saat panen selektif
6.Timbangan 10 kg :Alat untuk menghitung berat pakan
7.Timbangan 2 kg : Alat untuk menghitung berat kepiting per ekor (sampel)
8.Steroform : Sebagai wadah pakan & bak pencucian pada panen total
9.Pengait Kepiting : Sebagai Tiang Pagar waring keliling
10.Ember : Sebagai Wadah kebutuhan air
11.Parang dan telenan : Untuk mencincang atau memotong pakan
12.Tangukan /serokan : Sebagai alat penangkap panen selektif
13.Kayu : Sebagai alat menahan kepiting Agar mudah di tangkap
14.Kendaraan roda 2 : Sebagai alat transportasi dalam pengangkutan kepiting

b. Alat ukur parameter kualitas air yang digunakan di lapangan (Lokasi PKL):
No : Nama Alat : Fungsi atau Kegunaan
1.Sigmat atau Jangka sorong : Mengkur panjang dan lebar karapas
2.Soil tester : Alat mengukur pH Tanah
3.Secchi Disk : Alat mengukur Kecerahan
4.Water Chekcer : Alat mengukur salinitas, Do dan Suhu
5.Tongkat dan meteran : Alat mengukur kedalaman petakan dan air
6.Meteran : Alat mengukur Panjang dan lebar petakan
7.Botol sampel : Alat menyimpan sampel air

c. Alat ukur parameter kualitas air yang digunakan Lab kualitas Air FPIK UB:
No TujuanAlat alat yang Digunakan
1.Analisis TSS : Kertas saring, Vacum Pump, Glass beaker, Oven, Dessikator, Timbangan analitik, Hot plate, dan Volumetric cylinder .
2.Analisis TDS : Kertas saring, Vacum Pump, Glass beaker, Oven, Dessikator, Timbangan analitik, Hot plate, dan Gelas beaker.
3.Analisis pH air : pH meter digital
4.Kekeruhan : Bottle sample dan Turbidity Meter
5.Analisis Amoniak : Labu kjeldahl, Erlenmeyer, Pipet, Buret , Gelas ukur, dan Macro kjeldahl
6.Analisis Nitrat : Pipet volumetik, pipet gondok, gelas beaker, dan spektrofotometer
7.Analisis Nitrit : Pipet gondok, pipet volumetric, gelas ukur, Labu ukur, dan spektrofotometer

2. Bahan
Untuk bahan-bahan yang digunakan dalam praktek kerja lapangan adalah sebagai berikut:
- Bibit atau benih Kepiting jantan dewasa Minimal 300 gram/ekor
- Bibit atau benih kepiting betina dewasa Minimal 250/gram ekor yang telah matang telur tingkat satu (TKG I)
- Pakan ikan Rucah (puput, ekor kuning, gulama, sebelah atau lidah, ikan mujair,ikan putih ukuran kecil, ikan bulan-bulan, ikan bandeng dan ikan bawal ukuran kecil).
- Ikan otek kering sebagai umpan saat panen selektif.


C. Metode Praktek Kerja Lapangan
Metode yang di gunakan dalam pelaksanaan praktek kerja lapangan ini adalah metode survei, wawancara pada teknisi budidaya kepiting bakau dan metode eksplorasi.


D. Analisis Data
1. Rumus survival rate (SR)
Kelangsungan Hidup dihitung mulai dari pertama penebaran sampai akhir Produksi. Kelangsungan hidup dapat dihitung dengan menggunakan rumus Effendi(1997):
SR (%) = Nt/No x 100

Dimana :
SR = Kelangsungan hidup hewan uji (%)
Nt = Jumlah hewan hidup pada akhir penelitian (ekor)
No = Jumlah hewan hidup pada awal penelitian (ekor)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Lokasi
Praktek kerja lapangan ini dilaksanakan disalah satu tambak warga yang bernama Samsul ardi. Letak geografis tambak kepiting tersebut ± 1,2 Km dari garis pantai, yang dihubungkan oleh sungai utama (sungai buatan) yang memiliki lebar 10 meter dan kedalaman ± 3 meter. Sepanjang aliran sungai tersebut ditumbuhi mangrove dan memiliki substrat lumpur berpasir. Untuk batas wilayah tambak tersebut, sebelah Utara dan timur berbatasan dengan Tambak Udang milik PT. Mustika Aurora, bagian Selatan berbatasan dengan Sungai utama dan bagian Barat berbatasan dengan pembibitan udang milik Pak Amin. Kegiatan penimbunan landasan airport serta aktifitas rumah tangga di kawasan tersebut merupakan faktor utama yang akan mengakibatkan pencemaran yang terjadi di aliran sungai utama. Walaupun demikian diharapkan keberadaan mangrove di sekitar lokasi budidaya sekiranya dapat menetralisir pasokan air sehingga dapat digunakan untuk median penggemukan kepiting bakau tersebut. Denak petak tambak penggemukan kepiting bakau (fattening crab) dapat di liat pada gambar berikut :


B. Konstruksi Wadah Budidaya
Wadah budidaya kepiting bakau di tambak merupakan modifikasi dari pemeliharaan kepiting dengan metode pagar tancap. Wadah ini merupakan alih lahan tambak udang yang tidak produktif lagi, sehingga dimanfaatkan untuk budidaya kepiting bakau. Kelebihan kontruksi wadah budidaya ini selain padat tebar yang tinggi, wadah ini dibatasi dengan waring atas dan bawah sehingga bagian dari kontruksi ini lebih tahan lama dibandingkan dengan pagar tancap yang menggunakan bambu untuk pembatasnya. Ukuran wadah budidaya tersebut merupakan petakan-petakan yang didesain tidak terlalu besar sehingga memudahkan dalam pemberian pakan dan saat pengontrolan. Adapun panjang petakan kisaran 16 - 22 m, dengan lebar 8 – 14 m, sedangkan tinggi petakan 0.83 m dan tinggi air antara 0.25 sampai 0.60 m, sehingga petakan tersebut menampung air ± 34 sampai 438 m3 (Tabel 1).


Kontruksi tambak penggemukan kepiting tersebut dilengkapi dengan saluran inlet 8,5cm dan outlet 16cm (Gambar 8.a) terpisah sehingga memudahkan untuk pergantian atau penambahan air budidaya.
Ciri-ciri khas dari sifat fisiologi kepiting bakau adalah membuat lubang sehingga sering membuat petakan menjadi bocor dan bila tidak ditanggulangi maka akan berdampak jebolnya pematang. Untuk mengantisipasi dari sifat kepiting yang kita budidayakan tersebut maka dipasang waring bawah (Gambar 8.b) dengan ukuran 5x5 mm. Waring tersebut ditanam didasar tambak dengan kedalaman ±30 cm, hal ini dimaksudkan agar waring tersebut tidak mudah bergeser dan tidak ada celah untuk kepiting tersebut keluar dari wadah yang kita gunakan. Selain itu, kepiting mempunyai karakter peka terhadap polutan, sehingga seringkali kepiting naik ke pematang untuk menghindari dari kondisi perairan yang buruk. Oleh karena itu, waring dengan ukuran 20 x 20 mm dengan tinggi 80 cm dipasang dengan menggunakan tiang, berfungsi untuk menghadang kepiting agar tidak masuk kepetakan lainnya atau keluar ke sungai(Gambar 8.c).

C. Survival Rate (SR) Penggemukan Kepiting Bakau
Survival rate atau sintasan merupakan tingkat kelangsungan hidup dibandingkan pada saat tebar yang dinyatakan dengan persentase. Banyak faktor-faktor yang mengganggu dalam melakukan budidaya penggemukan kepiting baik internal maupun eksternal sehingga tingkat keberhasilan budidayanya sangat kecil. Survival rate kepiting bakau selama PKL disajikan pada Tabel 2.

Dari Tabel diatas dapat diketahui bahwa angka kehidupan (survival rate) kepiting bakau (Scylla sp) yang dibudidayakan dari enam kali produksi sangat rendah yaitu berkisar 27,38 % hingga 64,70 %. Indikasi rendahnya angka kehidupan kepiting bakau dapat disimpulkan dalam beberapa sebab yaitu kontruksi wadah budidaya, mutu benih, kualitas air, kualitas dan kuantitas pakan, sifat kanibalisme, padat tebar, panen dan penanganan pasca panen.
Menurut Rida, 2008, bahwa hewan ini bersifat kanibal sehingga tingkat keberhasilan budidayanya sangat kecil. Sesuai dengan kondisi dilapangan ditemukan beberapa bagian tubuh kepiting yang mati tercabik-cabik. Hal ini disebabkan ruang gerak dari kepiting tersebut sangat sempit karena padat tebar kepiting dewasa yang dilakukan 2 ekor/m2, sedangkan yang baik untuk penggemukan kepiting bakau dengan ukuran ± 500 gr yaitu 1 ekor/m2.
Selain itu rendahnya survival rate dapat dianalisa dari beberapa parameter kualitas air, khususnya kadar amoniak mencapai 2,09 dan 2,15. Kadar amonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/liter. Kadar amonia bebas yang tidak terionisasi pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari 0,2 mg/liter. Jika kadar amonia bebas lebih dari 0,2 mg/liter, perairan bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan. Kadar amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan (run-off) pupuk pertanian. Kadar amonia yang tinggi juga dapat ditemukan pada dasar danau yang mengalami kondisi tanpa oksigen atau anoxic (Effendi, 2003 dalam Aria 2009).Menurut Boyd (1990) dalam Aria (2009), amonia dapat meningkatkan kebutuhan oksigen pada insang dan jaringan tubuh yang mengalami kerusakan, dan menurunkan kemampuan darah dalam membawa oksigen. Dalam kondisi kronik, peningkatan amonia dapat menyebabkan timbulnya penyakit dan penurunan pertumbuhan. Pescod (1973) dalam Aria (2009) menyarankan agar kandungan amonia dalam suatu perairan tidak lebih dari 1 mg/l, yaitu agar kehidupan ikan/ kepiting menjadi normal.


D. Seleksi bibit dan Jenis Kepiting Yang Dibudidayakan
Keberhasilan suatu budidaya perikanan disamping ditunjang teknik budidaya yang handal, tersedianya bibit juga sangat menentukan. Untuk usaha budidaya penggemukan kepiting (fattening crab) pada lokasi PKL, bibit diperoleh dari para pemancing yang menjual kepada pos pengumpul yang ada di Jl. selumit pantai belakang BRI dengan nama Pos Barokah, yang kemudian oleh pos pengumpul tersebut diseleksi sesuai dengan ukuran yang sudah ditentukan, untuk ukuran konsumsi langsung dijual sedangkan kepiting yang dalam keadaan kropos/kurus disalurkan pada para petani penggemukan kepiting (fattening crab). Ukuran bibit kepiting yang digunakan bervariasi antara 300 - 900 gram untuk kepiting jantan dan 250 – 600 gram untuk kepiting telur (betina). Bibit dibeli dengan harga Rp 10.000 per/kg, baik jantan maupun betina.
Adapun ciri-ciri dan tehnik seleksi bibit kepiting yang akan digemukan adalah sebagai berikut :
1. Sehat memiliki warna cerah dan menarik serta tidak cacat pada organ tubuhnya.
2. Gerakannya lincah dan gesit serta melawan pada saat akan dipegang.
3. Untuk kepiting betina TKG 1 ditandai dengan telur yang sebesar garis.
4. Bebas dari gangguan dan penempelan penyakit dan parasit.
Sifat kanibalisme ini yang paling dominan ada pada kepiting jantan, oleh karena itu budidaya monosex pada produksi penggemukan kepiting (fattening crab) akan memberikan kelangsungan hidup lebih baik, sedangkan untuk melepas bibit kepiting sebaiknya dilakukan pada pagi hari agar kepiting dapat beradaptasi dengan lingkungan budidaya. Ciri-ciri bibit kepiting bakau dan cara melepas kepiting dapat dilihat pada Gambar 9.

Adapun jenis kepiting bakau yang dibudidayakan (penggemukan) dapat dilihat pada gambar berikut :


Identifikasi kepiting bakau ini mengacu pada artikel ‘’A Guide to Mangroves of Singapore", dengan penulis Peter and Sivasothi (2001). Jenis kepiting bakau yang dominan dibudidayakan yaitu jenis dari scylla serrata (Gambar 10.a) walaupun ada beberapa bagian kepiting dari jenis scylla olivacea (Gambar 10.b), scylla paramamosain (Gambar 10.c) dan scylla transquebarica (Gambar 10.d). Berdasarkan warnanya, kepiting bakau dapat dibedakan yaitu S. serrata berwarna keabu-abuan hingga hijau tua seperti lumpur dan hampir sama dengan varietas S. serrata paramamossain sehingga keduanya sulit dibedakan; S. oceanica berwarna orange dan terdapat garis-garis berwarna coklat pada hampir seluruh-bagian tubuhnya kecuali bagian perut; S. transquebarica berwarna ungu sampai kehitam-hitaman dengan sedikit garis-garis berwarna coklat pada kaki jalan terakhir dan kaki renangnya. Secara umum S. oceanica dan S. transquebarica memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan S. serrata dan varietasnya paramamossain pada umur yang sama.

E. Manajemen pakan
Kegiatan pemberian pakan pada penggemukan kepiting (fattening crab) meliputi :
1. Memilih jenis pakan yang sesuai.
Dalam hal ini jenis pakan yang diberikan pada penggemukan kepiting adalah ikan rucah (berbagai jenis ikan yang dipotong kecil-kecil) yang terdiri dari berbagai macam jenis ikan antara lain ; Puput, ekor kuning, gulama, sebelah atau lidah, ikan mujair, ikan putih ukuran kecil, ikan bulan-bulan, ikan bandeng, ikan bawal ukuran kecil, ikan julung-julung dan sebagainya (Gambar 11). Ikan rucah tersebut diperoleh dari pos penampungan hasil tangkapan kelong yang ada di Jl. Perikanan Jembatan Bongkok, Kota Tarakan (Gambar 12). Harga untuk perkilogramnya Rp.2000 rupiah dan biasanya kebutuhan pakan perharinya mencapai 25-35 kg untuk 6 petak budidaya tersebut, sehingga cost pakan yang diperlukan untuk sekali produksi ± Rp 300.000 rupiah/petak.
2. Cara pemberian pakan.
Pakan merupakan faktor utama yang harus dipenuhi dan diperhatikan kualitasnya dalam budidaya penggemukan kepiting. Selain itu, kebiasaan makan kepiting harus dipelajari, Sebelum pemberian pakan ikan rucah tersebut di potong-potong sampai ukuran kecil (Gambar 13), kemudian pemberian pakan dilakukan sore hari mengingat dari fisiologi atau tingkah laku kepiting yang lebih aktif mencari pakan dalam suasana gelap (nocturnal). Dan kepiting merupakan pemakan di dasar perairan sehingga menu pakan yang tenggelam merupakan syarat utama untuk membudidayakan kepiting. Pemberian pakan tersebut dapat dilakukan dengan cara ditebar merata keseluruh petakan tambak.

3. Dosis pakan.
Untuk penggemukan kepiting tersebut dosis pakan sebanyak 10 – 15 % dari total biomassa dengan frekuensi pemberian pakan 1 x sehari, pada sore hari (16.30) hal tersebut dikarenakan keterbatasan tenaga. Dan biasa berat pakan yang diberikan antara 5-7 kg per petaknya. Jumlah pakan diberikan disesuaikan dengan kebutuhan, dapat dilihat dari sisa pakan yang tidak termakan. Jika pakan dimakan seluruhnya, maka pemberian pakan selanjutnya sebaiknya ditambah. Dan sebaliknya apabila faktor lingkungan tidak bersahabat hal itu membuat selera nafsu makan kepiting munurun dan mengakibatkan sisa pakan yang berdampak pembusukan yang menimbulkan bau tak sedap (H2S).
F. Parameter Kualitas Air Budidaya Penggemukan Kepiting (fattening crab)
Air merupakan media yang paling vital bagi kehidupan kepiting. Di dalam budi daya kepiting, kualitas air yang memenuhi syarat merupakan salah satu kunci keberhasilan budidaya penggemukan kepiting tersebut. Oleh karena itu, sejak pemilihan lokasi, kondisi lingkungan dan kualitas air sudah merupakan salah satu yang dijadikan ukuran untuk menilai layak tidaknya suatu perairan atau sumber air digunakan untuk budi daya kepiting dengan wadah tertentu. Kegiatan pengukuran kualitas air dapat dilihat pada gambar berikut:
Nilai oksigen pada saat pengukuran berkisar antara 2,30 hingga 6,75 ppm, Oksigen tersebut sangat penting bagi pernafasan dan merupakan komponen utama bagi metabolisme kepiting bakau dan organisme perairan lainnya. Keperluan organisme terhadap oksigen bervariasi tergantung pada jenis, stadia dan aktivitasnya (Wardoyo, 1981). Djatmika (1986) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut yang terbaik untuk kehidupan organisme perairan berkisar antara 5-5,69 ppm. Ditambahkan oleh Djangkaru (1974) bahwa kandungan oksigen 3 ppm dapat menyebabkan selera makan organisme perairan akan turun, pada kandungan 7 ppm selera makan organisme perairan mencapai puncaknya. Menurut Kuntiyo et al (1993) oksigen terlarut yang memenuhi persyaratan untuk budidaya kepiting adalah lebih dari 3 ppm.
Faktor kualitas air sangat penting untuk kelangsungan hidup kepiting bakau (Scylla serrata). Adapun kualitas air selama melaksanakan PKL di sajikan dalam Tabel 3.
Dari Tabel 3 di atas dapat dilihat nilai dari beberapa parameter kualitas perairan yang dilakukan selama PKL. Nilai salinitas pada budidaya tersebut berkisar antara 24,8 - 28,8 0/00. Salinitas mempunyai pengaruh langsung terhadap tekanan asmotik air. Semakin tinggi salinitas akan semakin besar pula tekanan asmotiknya (Sutaman, 1993). Ditambahkan oleh Kasry (1996) berdasarkan kondisi daur hidupnya dapat diperkirakan sebagai kondisi perairan yang dilalui dalam menjalani hidup kepiting bakau pada saat ditetaskan salinitasnya 29-33 per mil. Pada saat kepiting muda yang baru berganti kulit memasuki muara sungai akan dapat mentolerir salinitas yang rendah (10-20 per mil). Menurut Tribawono et al (1995) bahwa kepiting dewasa toleran terhadap perubahan salinitas dan dapat hidup dalam air dengan salinitas 0-50 per mil. Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992) air yang digunakan dalam pemeliharaan kepiting sebaiknya mempunyai salinitas yang sesuai dengan kebutuhan kepiting yaitu antara 15-35 per mil. Diperkuat oleh pendapat Kuntiyo et al (1993) bahwa salinitas yang baik untuk budidaya kepiting adalah 15-30 per mil.
Nilai Suhu berkisar dari 28.9 hingga 32.5 0C. Perubahan suhu secara mendadak akan berpengaruh langsung terhadap kehidupan Kepiting. Jika suhu air tambak turun hingga di bawah 200C, daya cerna kepiting terhadap makanan yang dikonsumsi berkurang. Sebaliknya, jika suhu naik hingga lebih dari 350C, kepiting akan mengalami stress karena kebutuhan oksigen semakin tinggi. Untuk menghindari kenaikan suhu pada musim kemarau, permukaan air perlu dinaikkan, atau menambah kedalaman tambak dan memasukkan air baru.
Nilai pH air berkisar antara 6,5 hingga 6,8 dan pH tanah 6,5 - 7 hal ini masih dapat ditoleransi oleh kepiting yang kita budidayakan. Pada kolam atau tambak yang banyak dijumpai tumbuhan renik, pH air pada pagi hari biasanya mencapai kurang dari 6,5. Keberadaan pH di perairan penting untuk reaksi-reaksi kimia dan senyawa-senyawa yang mengandung racun perubahan asam atau basa di perairan dapat mengganggu sistem keseimbangan ekologi. Nilai pH juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas (Mackereth et al., 1989 dalam Aria, 2009). Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas. Berdasarkan nilai kisaran pH menurut EPA (Environmental Protection Agency) untuk kehidupan organisme air adalah 6,5 – 8,5. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8.5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Selain itu,nilai pH juga sangat berpengaruh terhadap toksisitas suatu senyawa kimia. Menurut Swingle (1978) dalam Aria (2009), mengatakan bahwa pH yang baik atau cocok untuk budidaya ikan adalah antara 6.50-9.00. Sedangkan titik kematian ikan terjadi pada pH 4.00 untuk asam dan 11.00 untuk basa. Pada kolam dengan system resirkulasi air cenderung menjadi asam karena proses nitrifikasi dari bahan organic akan menghasilkan karbondioksida-karbondioksida dan ion hydrogen. Mengantisipasi rendahnya pH pada saat persiapan tambak, tanah dasar tambak bisa ditaburi kapur, untuk menaikkan pH. Alat yang digunakan untuk mengukur pH tanah adalah soil tester (Gambar 15).
Amonia (NH4+) pada suatu perairan berasal dari urin dan feses yang dihasilkan oleh ikan. Kandungan amonia ada dalam jumlah yang relatif kecil jika dalam perairan kandungan oksigen terlarut tinggi. Sehingga kandungan amonia dalam perairan bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman. Pada dasar perairan kemungkinan terdapat amonia dalam jumlah yang lebih banyak dibanding perairan di bagian atasnya karena oksigen terlarut pada bagian dasar relatif lebih kecil (Welch, 1952 dalam Aria, 2009). Menurut Jenie dan Rahayu (1993) dalam Aria (2009), konsentrasi amonia yang tinggi pada permukaan air akan menyebabkan kematian ikan yang terdapat pada perairan tersebut. Toksisitas amonia dipengaruhi oleh pH yang ditunjukkan dengan kondisi pH rendah akan bersifat racun jika jumlah amonia banyak, sedangkan dengan kondisi pH tinggi hanya dengan jumlah amonia yang sedikit akan bersifat racun. Selain itu, pada saat kandungan oksigen terlarut tinggi, amonia yang ada dalam jumlah yang relatif kecil sehingga amonia bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman (Welch, 1952 dalam Aria, 2009).
Amonia (NH3) dan Asam Sulfida (H2S) merupakan senyawa yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kepiting. Munculnya amonia di dalam tambak disebabkan oleh adanya sisa pakan yang tidak termakan, bangkai hewan dan tumbuhan, kotoran kepiting, dan bahan organik lainnya yang membusuk, misalnya ganggang. Agar kepiting tumbuh cukup baik, amoniak yang terdapat dalam air tambak tidak boleh lebih dari 2 ppm. Di samping amoniak, kandungan asam sulfinda pun akan berpengaruh terhadap tambak, terutama setelah 2-3 kali panen. Langkah pencegahan bisa dilakukan dengan mempersiapkan tambak sebaik mungkin dan menjaga kualitas pakan. Pakan yang berkualitas akan mendukung stabilitas air dalam tambak. Konsentrasi asam sulfida normal atau yang bisa ditoleransi di dalam tambak adalah 0,12 ppm. NH3 dalam air dapat dibuang dengan proses tripping (pH optimum ± 12) atau dengan proses mikrobiologi.
Secara biologis di alam sebenarnya dapat terjadi perombakan ammonia menjadi nitrat (NO3), suatu bentuk yang tidak berbahaya, dalam proses nitrifikasi dengan bantuan bakteri nitrifikasi terutama Nitrosomonas dan Nitrobacter. Selain memerlukan bakteri tersebut dalam proses perombakan itu juga diperlukan jumlah oksigen yang cukup didalam air. Proses perombakan yang tidak sempurna dapat mengakibatkan akumulasi ion nitrit yang bersifat racun. Urin, bangkai hewan dan tumbuhan yang mati akan diuraikan oleh pengurai menjadi amonium dan amoniak. Bakteri nitrit yaitu Nitrosomonas mengubah amonium menjadi nitrit. Selanjutnya bakteri nitrat yaitu Nitrobacter mengubah nitrit menjadi nitrat. Proses pengubahan amonium menjadi nitrit dan nitrat inilah yang disebut nitrifikasi. Sebaliknya, proses pengubahan nitrit atau nitrat menjadi nitrogen bebas di udara disebut proses denitrifikasi.

G. Metode Panen
Metode panen yang digunakan dalam budidaya penggemukan kepiting ini terbagi menjai 2 kelompok yaitu
a. Panen Total
Panen Total dilakukan dengan cara mengeringkan kolam secara total sehingga produksi total dapat segera diketahui (Gambar 16 dan 17). Kerugian sistem ini adalah kepiting yang belum gemuk dan belum memenuhi syarat konsumsi ikut terpanen. Selain itu juga pada proses penangkapan yang lamban menyebabkan kepiting kepanasan sehingga mengakibatkan dehidrasi yang menurunkan kondisi fisik dan dapat pula menyebabkan kematian.
a. Panen Selektif
Panen Selektif dilakukan dengan menggunakan ambau tancap, tanpa harus mengeringkan kolam dan yang tertangkap dapat diseleksi. Kerugian sistem ini adalah banyak membutuhkan tenaga dan waktu, tetapi kondisi fisik dari kepiting tersebut masih dalam keadaan stabil.
Penangkapan dan penanganan kepiting konsumsi relatif sulit karena mudah lari, menyerang satu sama lainya yang mengakibatkan cacat fisik, maupun menyerang orang yang menangani sehingga mengakibatkan kegiatan penanganananya menjadi lambat . Oleh karena itu, panen dan penanganan kepiting perlu dilakukan oleh tenaga-tenaga terampil untuk menangkap dan mengikat. Pengelompokan kepiting hasil panen sudah harus dimulai sejak penanganan pertama terhadap ukuran, kelengkapan fisik, hidup/mati, jantan/betina, belum/sudah bertelur serta kegemukan (isi/keropos) sehingga langkah langkah selanjutnya bisa cepat dilakukan. Misalnya mana yang telah siap dijual, diolah, ditebarkan kembali untuk penggemukan dan atau produksi kepiting bertelur.
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992) bahwa sepintas lalu kepiting yang dijual di pasaran tampaknya sama saja, namun bagi penggemar yang sudah sering menyantap kepiting ada teknik tertentu untuk memilihnya. Bagi yang belum bisa, agak sulit untuk memilih kepiting yang berisi atau gemuk. Jika membeli kepiting pada saat sedang bulan purnama, kemungkinan besar akan diperoleh kepiting yang berisi, karena pada saat bulan purnama terjadi pasang air laut paling tinggi sehingga memberikan keleluasaan bagi kepiting untuk mencari makan, akan tetapi jika tidak sedang bulan purnama, perlu menggunakan teknik khusus untuk mendapatkan kepiting yang berisi. Beberapa cara yang dapat digunakan sebagai patokan dalam menentukan berisi atau tidaknya kepiting antara lain:
a. Apabila tanpa sebab yang jelas salah satu anggota tubuh kepiting lepas dengan sendirinya, maka sudah dapat dipastikan bahwa kepiting tersebut tidak berisi. Kepiting semacam ini harganya sangat murah, bahkan mungkin kurang diminati. Akan tetapi, jika menjumpai kepiting yang sedang mengganti organ tubuhnya yang lepas, maka kepiting tersebut kemungkinan besar berisi.
b. Kepiting betina mempunyai kumpulan telur yang disimpan di bagian dada. Jika kumpulan telur ini sudah terlihat, kemungkinan besar kepiting tersebut sudah berisi.
c. Dalam siklus hidupnya, kepiting akan mengalami molting beberapa kali. Selesai melaksanakan pergantian kulit, seluruh tubuh kepiting akan terasa lunak dan ini berarti kepiting tersebut cukup berisi.
d. Jika pangkal dan jari-jari kepiting yang paling belakang ditekan dengan jari tangan terasa keras, maka sudah dapat dipastikan bahwa kepiting tersebut berisi.
e. Kepiting yang berisi memiliki dada yang relative keras dan jika ditekan dengan jari tidak akan atau sedikit menggeluarkan air.
f. Kepiting yang berisi biasanya memiliki warna kulit di bagian dada tampak agak kemerah-merahan.
Menurut Nurdjana (1979) dalam Mardjono et al (1994), pada kepiting bakau terdapat 4 tingkat kematangan telur yang dapat dilihat dari luar yaitu :
1. Tingkat I : Belum matang (immature) yaitu belum ada tanda-tanda perkembangan telur pada calon induk
2. Tingkat II : Sedang dalam proses pematangan (maturing) perkembangan telur sudah mulai terlihat penuh, berwarna kuning namun masih berada di dalam tubuh kepiting. Telur ini akan terlihat berada di bawah karapas
3. Tingkat III : Matang (ripe) telur kepiting telah dibuahi dan dilekatkan pada abdomen (telah dikeluarkan). Pada saat baru dikeluarkan telur berwarna kuning muda. Telur ini akan mengalami perkembangan menjadi kuning tua, keabu-abuan, kehitaman, kemudian menetas. Perkembangan telur pada abdomen dari kuning muda sampai menetas memerlukan waktu antara 14-20 hari
4. Tingkat IV : Salin (spent), pada tingkat terakhir ini seluruh telur telah menetas sehingga ruang di bawah abdomen terlihat kosong.

H. Pasca Panen
Dalam rangkaian usaha budidaya kepiting, proses panen, penanganan hasil panen, distribusi dan pemasaran merupakan serangkaian kegiatan yang menunjang keberhasilan budidaya. Untuk mempertahankan mutu produk segar maupun olahan, maka kegiatan panen, penanganan hasil panen dan pendistribusiannya harus dipertimbangkan langkah-langkah yang tepat untuk memelihara kesehatan/kesegaran dan menghindari kerusakan fisik.
Beberapa prinsip penanganan kepiting hasil panen perlu memperhatikan faktor-faktor waktu, suhu, higienis sejak kepiting itu dipanen hingga diserahkan kepada pembeli atau diolah. Panen perlu dilakukan secara cepat dan hati-hati untuk menghindari stres yang berlebihan. Faktor suhu dapat mempengaruhi laju metabolisme, kesehatan, kesegaran dan laju dehidrasi. Kehilangan berat sekitar 3 - 4% akibat dehidrasi pada proses penyimpanan kepiting tanpa air dapat menyebabkan kematian. Penyimpanan kepiting tanpa air pada suhu kurang dari 12oC atau lebih besar dari 32oC dapat menyebabkan kematian kepiting.
Kepiting yang baru saja dipanen harus segera diikat supaya tidak lepas dan saling menyerang, memudahkan seleksi dan penanganan selanjutnya. Pengikatan dapat dilakukan dengan dua cara yakni:
1. Pengikatan seluruh kaki dan capit sehingga kepiting tidak mampu bergerak, Pengikatan ini mempunyai kelemahan bila dibiarkan dalam beberapa hari, ketika akan dilepas, kepiting menjadi lumpuh, tidak lincah sehingga dinilai lemah/sakit yang dapat menurunkan mutu.
2. Pengikatan pada capit saja sehingga kepiting masih mampu berjalan tetapi tidak dapat menyerang sedangkan pengikat cara kedua kepiting masih bisa lari kecuali yang lemah sehingga peluang lepas bila tempat penyimpanan tidak tertutup.
Kepiting yang telah diikat, disortir, disusun rapi di dalam keranjang atau semacamnya bersusun 3 - 5 lapis dengan kondisi keranjang cukup memiliki ventilasi/lubang untuk sirkulasi udara. Dalam keadaan ini dapat disimpan dalam ruangan lembab bersuhu rendah. Ditingkat petani sering ditutup dengan karung bersih dan basah dan segera dikirim kepada konsumen. Oleh karenanya, jumlah panen perlu diperhitungkan supaya cukup dan secara ekonomi menguntungkan dengan mempertimbangkan biaya transport. Bila karena sesuatu hal kepiting yang telah diikat tadak dapat segera dikirim kepada konsumen/pembeli, maka setiap 12 jam dapat dicelup dalam air asin selama beberapa menit untuk menghindari dehidrasi. Bila ada yang lemah sekali atau mati harus segera dipisahkan untuk menghindari kematian kepiting lainya. Kepiting yang lemah, kurang sehat ditandai dengan gerakan tangkai mata dan kaki renang yang lamban, serta keluar busa dari mulutnya. Meskipun telah diketahui kepiting tahan hidup tanpa air selama beberapa hari, namun untuk mempertahankan mutu perlu penanganan serius, misalnya bila terjadi satu ekor saja yang mati dan membusuk di antara kepiting yang banyak akan segera menular dan terjadi kematian yang lain, sehingga sering terdengar kasus kerugian karena tiba di tempat konsumen/tujuan kepiting banyak yang mati, padahal pada saat dikirim masih hidup.

I. Pemasaran
Pasar adalah rangkaian dari usaha budidaya, karena peningkatan produksi tidak akan memberikan dampak positif tanpa adanya potensi dan peluang pasar yang baik. Pengalaman menunjukkan bahwa banyak teknologi yang tidak berkembang karena produk yang dihasilkan tidak memiliki kepastian pasar dalam arti ekonomi secara luas. Disamping itu pemasaran produk kepiting segar perlu adanya alternatif pemasaran produk kepiting olahan untuk menghindari monopoli dan persaingan yang semakin ketat. Produk kepiting segar dan peyortiran disajikan pada gambar berikut :
1. Pemasaran Segar/Hidup
Untuk pemasaran kepiting segar, perlu memperhatikan prasyarat pasar seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Bagi kepiting segar yang tidak memiliki syarat karena keropos, ukuran belum mencukupi, telur belum penuh, cacat fisik dan lain-lain perlu upaya peningkatan mutu untuk memenuhi prasyarat tersebut. Pengelolaan ini akan menguntungkan apabila secara kumulatif memenuhi jumlah minimum untuk dipasarkan secara serentak. Satu kelemahan pasar di tingkat petani antara lain informasi pasar yang sering terlambat atau bahkan tidak menjangkau. Misalnya banyak petani penangkap tidak mengetahui prasyarat pasar, tidak mengetahui system grading, harga yang tinggi untuk kepiting betina bertelur dan lain-lain. Oleh karena itu perlu adanya upaya pembinaan dan bantuan dari pihak terkait sehingga petani bisa mendapatkan harga yang layak untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pembeli yang melakukan sorting dengan ketat akan melakukan seleksi ulang terhadap ukuran, kesehatan dengan melihat gerak tangkai mata, kaki renang, respon gerak setelah ikatan dilepas dan faktor higienis dari packingnya. Pemasaran dalam bentuk hidup harus segera dilakukan dengan cepat dan dini sehingga harus dipertimbangkan harus mempertimbangkan jumlah yang cukup untuk setiap panen dan pemasaran. Dengan budidaya diharapkan target produksi serta mutu produksi bisa dijamin.

2. Produk Olahan dari daging Afkiran
Tidak seperti pada pemasaran kepiting segar yang menuntut berbagai prasyarat penting, pada produk olahan kepiting lebih sederhana tidak membedakan jenis dan keutuhan fisik tetapi kesegaran dan faktor higienis dalam olahan sangat penting. Kepiting afkir untuk diperdagangkan dalam keadaan segar karena cacat fisik bisa segera diolah untuk dipisahkan bagian yang dapat dimakan (edible portion) yang berupa daging atau telurBagian terbesar dari tubuh kepiting berupa limbah (60%) dan sisanya (40%) merupakan edible portion. Pengolahan kepiting berupa proses pemisahan antara limbah (carapase, kaki jalan, kaki renang dan insang) daging dan telur dapat dilakukan dengan cara sederhana yaitu dengan merebus kepiting segar yang telah bersih selama 3 - 5 menit, kemudian dilepas carapace-nya, dipecah capit secara hati-hati. Daging dan telur diambil dengan bantuan pinset/garpu secara hati-hati sehingga bagian kotoran yang berwarna kuning kehitaman dan lunak tidak menkontaminasi telur/daging yang dapat menurunkan mutu, daging dan telur yang telah dipisahkan dapat disimpan dalam suhu dingin dengan kemasan yang baik. Produk olahan untuk konsumsi lokal di warung makan atau restoran dapat disajikan dalam variasi menu yang menarik seperti kepiting rebus, kepiting gule, goreng, sop daging, sop telur kepiting dan lain-lain dengan harga bervariasi.


V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktek kerja lapang tentang Teknik penggemukan kepiting (fattening crab) dapat di simpulkan sebagai berikut:
1. Metode yang digunakan pada penggemukan kepiting (fattening crab) di dalam tambak pada intinya sama dengan metode lainya yaitu meliputi pemilihan lokasi, persiapan sarana dan prasarana, persiapan lahan, seleksi bibit, manajemen pakan, manajemen kualitas air, panen, pasca panen dan pemasaran. Perbedaannya terletak pada konstruksinya saja.
2. Jenis yang dominan yang terdapat pada penggemukan kepiting (fattening crab) adalah Scylla serrata walaupun ada beberapa ekor dari jenis yang lain seperti Scylla transquebarica dan Scylla olivacea.
3. Kontruksi wadah budidaya di tambak ini merupakan modifikasi dari wadah budidaya pagar tancap, perbedaanya hanya di pagar atau pembatasnya yang terbuat dari waring sehingga memungkinkan kontruksi bertahan lama. Sedangkan kualitas perairannya masih memungkinkan untuk budidaya kepiting.
4. Pertumbuhan pada penggemukan kepiting (fattening crab) berkisar 15 sampai 25 hari dan kelangsungan hidup atau sintasan pada enam kali produksi berkisar antara 27,38 – 64,70 %, hal ini menandakan pertumbuhannya cukup baik namun perlu adanya kajian agar survival rate bisa meningkat.

B. Saran
Dengan memahami potensi usaha fattening crab yang sangat prospektif, terutama untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, disamping pemanfaatan lahan-lahan tidur menjadi lahan produktif, maka dipandang sangat tepat sekali jika Pemerintah Kota bekerja sama dengan Mahasiswa FPIK UB untuk memprogramkan pertambakan fattening crab tersebut yang didahului dengan pengadaan pilot project. Dan diharapkan menjadi core competence daerah yang dapat menaikkan nilai tambah ekonomi dan daya saing produksi yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Afrianto E & Liviawaty E, 1992. Pemeliharaan Kepiting. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Anonymous, 2004. Pemasaran Kepiting Bakau (Scylla serrata). Pemerintah Kota Tarakan. Depertemen Kelautan Perikanan. Tarakan.
Aria Perwira (2009). Kimia Lingkungan.Artikel.http://ayafarm.com/?tag=amoniak /acces/28Januari2010/Time 20:55
Arif U, 2008. Laju pertumbuhan Kepiting Bakau (scylla Serata) dengan Pemberian Pakan Berbeda. Univ.Borneo, Tarakan.
Arianty L. 1997. Pengaruh Dosis Pakan Yang Berbeda Terhadap Penggemukan Kepiting Bakau (Scylla serrata). Universitas Mulawarman. Samarinda.
Djatmika, 1986. Usaha Budidaya Ikan Lele. Simpleks. Jakarta.
Djangkaru Z, 1974. Makanan Ikan Lembaga Penelitian Perikanan. Direktorat Jendral Perikanan. Jakarta.
Ghufran H Kordi M. 2004. Penanggulangan Hama Dan Penyakit Ikan. Bhineka Cipta. Jakarta.
http://ajiemethod.blogspot.com// acces.04Desember2009/Time: 22:27.
http://akuakulturunhas.blogspot.com/ acces.04Desember2009/Time: 22:10.
http://bontocina-kaizen.blogspot.com// acces.05Desember2009/Time: 01:02.
http://ikanmania.wordpress.com// acces.04Desember2009/Time: 23:12.
http://suaramerdeka.com// acces.04Desember2009/Time: 20:07.
http://www.slideshare.net/NURRIJAL/kepiting-bakau/acces.04Desember2009/Time: 20:31.
Kanna I, 2002. Budidaya Kepiting Bakau. Kanisius, Yogyakarta.
Kasry A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau Dan Biologi Ringkas. Bhatara. Jakarta.
Kurnain A, 2008. Teknik Budidaya Kepiting Cangkang Lunak Di Tambak. Universitas Borneo, Tarakan.
Kuntiyo, A. Zainal, dan Supratno . 1993. Pedoman budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) Di Tambak Balai Budidaya Air Payau. Jepara.
Mardjono, M., Anindiastuti, N. Hamid, I.S. Djunaidah, dan W.H. Satyantani, 1994. Pedoman Pembenihan Kepiting Bakau (Scylla serrata). Balai Budidaya Air Payau, Direktorat Jenderal Perikanan.
Mustafa (2002). Pembesaran Komoditas Perikanan Di Tambak Tanah Sulfat masam. BRPBAP.Maros.http://www.bees.unsw.edu.au/school/staff/Sammut_brochure3.pdf/acces 28Jan2010/Time19:00.
Oemardjati, B, S. dan W. Wardhana. 1992. Taksonomi Avertebrata Air. Pengantar Praktikum laboraturium. Universitas Indonesia, Jakarta.
Peter and Sivasothi (2001). A Guide to Mangroves of Singapore. http://mangrove. nus .edu.sg /guidebooks/text/2044.htm/15Januari2010/Time:18:59
Raizika Carly (2009). Budidaya Soka. Kota Tarakan. http://soka-farm.blogspot.com/search/label/Tahapan%20Budidaya%20soka/ acces/28Jan2010/Time19:30.
Rida’s (2008). Jalan Terjal Budidaya Kepiting. Kota Tarakan. http://ridawidyastuti.blog/. friendster.com/category/fishery/acces.05Desember2009/01:00.
Sutarman, 1993. Petunjuk Praktis Pembelian Udang Windu Skala Rumah Tangga. Kanisius. Yogyakarta.
Suyadi, 2005. Pengaruh Penanggalan Capit (cheliped) Terhadap Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Kepiting Bakau (scylla serrata).
Tribawono D, Mulyantoro E, dan Brotowidjoyo. 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Liberty. Yogyakarta.
Wardoyo, S.T.H.1981. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian Dan Perikanan. Training Analisis Dampak Lingkungan. IPB. Bogor.

25 Jan 2010

BUDIDAYA PAKAN ALAMI UNTUK BENIH IKAN AIR TAWAR

Dosen MK:Heppi Iromo S.Pi,M.Si Thn 2007
I. PENDAHULUAN
Ikan hias dan ikan konsumsi merupakan ikan ekonomis penting di Wilayah Jakarta. Di daerah ini, masih banyak dijumpai petani yang mengandalkan usaha ikan hias maupun ikan konsumsi sebagai mata pencaharian utama. Apalagi dengan makin sempitnya lahan pertanian, menyebabkan usaha budidaya dan pembenihan ikan banyak dilakukan di lahan pekarangan.
Jenis ikan hias yang banyak dibudidayakan antara lain Oscar, Tetra, Blackghost, Koki dan Cupang. Sedangkan untuk jenis ikan konsumsi terdiri dari Bawal Air Tawar, Gurami, Patin dan Tawes. Saat masih benih, ikan tersebut sangat memerlukan pakan alami/kutu air.
Keberadaan pakan alami sangat diperlukan dalam budidaya ikan dan pembenihan, karena akan menunjang kelangsungan hidup benih ikan. Pada saat telur ikan baru menetas maka setelah makanan cadangan habis, benih ikan membutuhkan pakan yang sesuai dengan ukuran tubuhnya. Selama ini petani ikan melakukan pemberian pakan ke benih ikan yang baru menetas dengan kuning telur matang dan susu bubuk. Pemberian pakan seperti ini berakibat kualitas air media sangat rendah. Disamping air media cepat kotor dan berbau amis, berakibat pula kematian benih ikan sangat tinggi sampai sekitar 60 - 70%.
Dengan bentuk dan ukuran mulut yang kecil, benih ikan sangat cocok diberikan pakan alami. Untuk tahap awal, pakan yang diperlukan adalah pakan alami jenis Infusoria/Paramaecium. Pada tahap selanjutnya sesuai dengan perkembangan ukuran mulut ikan, jenis pakan alami yang cocok diberikan yaitu Moina, sedangkan pada tahap akhir sampai ikan siap tebar bisa diberikan pakan alami jenis Daphnia.
Pakan alami merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan produksi benih ikan hias maupun ikan konsumsi. Petani ikan di daerah Jakarta biasanya memenuhi kebutuhan pakan alami dengan membeli Artemia maupun mencari jenis pakan lokal seperti Moina dan Daphnia ke danau atau situ. Penggunaan pakan alami Artemia saat ini sangat tidak ekonomis, karena selain pengadaannya sulit juga sangat mahal. Selain itu pengadaan pakan dari alam tidak terjamin baik ketersediaan maupun kemurniannya. Pengambilan pakan dari alam ini juga beresiko membawa bibit penyakit yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup benih ikan.
Budidaya pakan alami yang dilakukan sendiri oleh petani menjanjikan sejumlah keuntungan, disamping kualitas kebersihan pakan terjamin, pakan alami produksi sendiri juga menghasilkan jenis pakan/kutu air seperti yang diharapkan. Penghematan waktu, tenaga dan biaya juga akan diraih apabila produksi pakan alami dilakukan dengan baik.


II. PAKAN ALAMI

Pakan alami ialah makanan hidup bagi larva atau benih ikan dan udang. Beberapa jenis pakan alami yang sesuai untuk benih ikan air tawar, antara lain lnfusoria (Paramaecium sp.), Rotifera (Brachionus sp.), Kladosera (Moina sp.), dan Daphnia sp.
Pakan alami tersebut mempunyai kandungan gizi yang lengkap dan mudah dicerna dalam usus benih ikan. Ukuran tubuhnya yang relatif kecil sangat sesuai dengan lebar bukaan mulut larva/benih ikan. Sifatnya yang selalu bergerak aktif akan merangsang benih/larva ikan untuk memangsanya. Pakan alami ini dapat diibaratkan "air susu ibu" bagi larva/benih ikan yang dapat memberikan gizi secara lengkap sesuai kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
Pakan alami Infusoria dapat dibudidayakan dengan media sayuran, sedangkan pakan alami jenis Moina dan Daphnia dapat dilakukan dengan menggunakan kotoran hewan kering yang ada di sekitar kita.
Kandungan gizi setiap jenis pakan alami berbeda-beda, namun pada umumnya terdiri dari air, protein, lemak, serat kasar dan abu. Kandungan gizi pakan alami Moina dan Daphnia dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini
Tabel 1. Kandungan Gizi dan Kegunaan Pakan Alami
1. Moina
Di kalangan petani Moina dikenal dengan nama "kutu air". Jenis kutu ini mempunyai bentuk tubuh agak bulat, bergaris tengah antara 0,9 - 1,8 mm dan berwarna kemerahan.
Perkembangbiakan Moina dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu secara asexual atau parthenogenesis (melakukan penetasan telur tanpa dibuahi) dan secara sexual (melakukan penetasan telur dengan melakukan perkawinan/pembuahan terlebih dahulu). Pada kondisi perairan yang tidak menguntungkan, individu betina menghasilkan telur istirahat atau ephipium yang akan segera menetas pada saat kondisi perairan sudah baik kembali.
Moina mulai menghasilkan anak setelah berumur empat hari dengan jumlah anak selama hidup sekitar 211 ekor. Setiap kali beranak rata-rata berselang 1,25 hari, dengan rata-rata jumlah anak sekali keluar 32 ekor/hari, sedangkan umur hidup Moina adalah sekitar 13 hari.
Moina biasa hidup pada perairan yang tercemar bahan organik, seperti pada kolam dan rawa. Pada perairan yang banyak terdapat kayu busuk dan kotoran hewan, Moina akan tumbuh dengan baik pada perairan yang mempunyai kisaran suhu antara 14-30 ° C dan pH antara 6,5 - 9. Jenis makanan yang baik untuk pertumbuhan Moina adalah bakteri. Untuk menangkap mangsa, Moina akan menggerakan alat tambahan pada bagian mulut, yang menyebabkan makanan terbawa bersama aliran air ke dalam mulut.
2. Daphnia
Daphnia mempunyai bentuk tubuh lonjong, pipih dan beruas-ruas yang tidak terlihat. Pada kepala bagian bawah terdapat moncong yang bulat dan tumbuh lima pasang alat tambahan. Alat tambahan pertama disebut Antennula, sedangkan yang ke dua disebut antenna yang mempunyai fungsi pokok sebagai alat gerak. Tiga lainnya merupakan alat tambahan pada bagian mulut.
Perkembangbiakan Daphnia yaitu secara asexual atau parthenogenesis dan secara sexual atau kawin. Perkembangbiakan secara parthenogenesis sering terjadi, dengan menghasilkan individu muda betina. Telur dierami di dalam kantong pengeraman hingga menetas. Anak Daphnia dikeluarkan pada saat pergantian kulit. Pada kondisi perairan yang baik, disamping individu betina dihasilkan pula individu jantan. Pada saat kondisi perairan yang tidak menguntungkan, individu betina menghasilkan 1 -2 telur istirahat atau epiphium yang akan menetas saat kondisi perairan baik kembali.
Daphnia mulai berkembang biak pada umur lima hari, dan selanjutnya setiap selang waktu satu setengah hari akan beranak lagi. Jumlah setiap kali beranak rata-rata sebanyak 39 ekor. Umur hidup Daphnia 34 hari, sehingga selama hidupnya mampu menghasilkan anak kurang lebih 558 ekor.
Daphnia adalah jenis zooplankton yang hidup di air tawar, mendiami kolam atau danau. Daphnia dapat tumbuh optimum pada suhu perairan sekitar 21 °C dan pH antara 6,5 - 8,5. Jenis makanan yang baik untuk pertumbuhan Daphnia adalah bakteri, fitoplankton dan detritus.
Kebiasaan makannya dengan cara membuat aliran pada media, yaitu dengan menggerakan alat tambahan yang ada di mulut, sehingga makanan masuk ke dalam mulutnya.






III. PRODUKSI MASSAL PAKAN ALAMI

1. Tujuan Produksi Pakan Alami :
* Menyediakan pakan alami secara massal dan berkesinambungan untuk menunjang usaha pembenihan ikan ekonomis penting.
* Meningkatkan kelangsungan hidup benih ikan melalui pemberian pakan alami hasil

* Budidaya secara massal.
* Menekan pengeluaran biaya dan penggunaan tenaga serta waktu dalam penyediaan pakan alarm.
* Mencegah penyebaran bibit penyakit dan parasit yang dibawa pakan dari alam.

2. Produksi Massa Infusoria
A. Bahan-bahan yang diperlukan, antara lain :
- Bak/ember plastik ukuran 15 liter (jumlah Ember/ bak tergantung keperluan)
- Media budidaya terdiri dari kulit Pepaya matang, daun Kol/Selada atau pelepah pisang (gunakan salah satu media).
- Kain kasa untuk pembungkus sayuran dan tutup ember.
- Air kolam atau empang sebagai sumber bibit Infusoria

B. Pelaksanaan :
- Isi bak/ember dengan air sampai sekitar 10 liter
- Masukkan salah satu bahan (kulit Pepaya matang, daun Kol atau pelepah pisang) kedalam ember sebanyak 250 - 300 gram yang telah dibungkus kain kasa dan diikat.
- Tambahkan sekitar 2 - 3 gayung (1 - 2 liter) air empang/kolam, untuk memasukkan bibit Infusoria yang akan dibudidayakan
- Letakkan ember/bak plastik yang telah terisi kultur Infusoria pada tempat terlindung dari panas matahari dan hujan, untuk menghindari perubahan suhu yang tidak diinginkan.
- Tutup ember media budidaya dengan kain kasa untuk menghindari jentik nyamuk atau hewan lain masuk ke dalamnya.

C. Pemanenan :
- Pada hari ke-3, amati adanya lapisan tipis warna putih seperti awan di atas permukaan air media yang menandakan Infusoria sudah berkembang dengan baik (puncak populasi Infusoria biasanya terjadi pada hari ke-4 dan hari ke-5)
- Ambil lapisan putih tersebut dengan menggunakan mangkuk atau piring kecil untuk diberikan pada benih ikan.
- Satu siklus budidaya Infusoria (selama 1 minggu) dapat digunakan untuk makanan benih ikan sampai benih tersebut siap memakan jenis pakan alami yang lebih besar yaitu Moina dan Daphnia. Biasanya pemberian pakan alami Infusoria hanya berlangsung selama 2 - 3 hari.

Jenis Infusoria yang berkembang dipengaruhi oleh jenis media yang digunakan. Setiap media memiliki pH tertentu yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan benih ikan, apabila pemberian Infusoria dilakukan secara berlebihan. Pada media kulit pepaya jenis Infusoria yang dominan adalah Chlamydomonas sp. dan Colpoda sp. Sedangkan pada media kol, pelepah pisang dan daun kipahit adalah Paramaecium sp. dan Euglena sp. Media kulit pepaya dan pelepah pisang menunjukan pH yang cenderung asam dan ini disukai ikan Neon tetra, sedangkan pada media kol dan daun kipahit pH cenderung netral. Akan tetapi secara umum semua jenis media dapat digunakan untuk budidaya Infusoria.
Pemberian lnfusoria ke benih ikan yang baru menetas, temyata dapat meningkatkan derajat kehidupan benih menjadi 80 - 90%.


Tabel 2. Keadaan pH dan Jenis Infusoria dominan pada Beberapa Media Tumbuh Pakan Alami.

3. Produksi Massal Moina/Daphnia
A. Bahan-bahan yang diperlukan :
- Bak beton / kolam budidaya ukuran 2 x 3 meter, dengan ketinggian 1 meter.
- Pupuk organik, yaitu kotoran ayam dan pupuk kompos (kebutuhan masing-masing 1-1,5
kg/m3 air media)
- Kantong waring untuk tempat pupuk dan tali pengikat.

B. Pelaksanaan :
- Isi bak / kolam budidaya dengan air sampai ketinggian minimal 70 - 80 cm, untuk menjaga kestabilan suhu media dan menghindarkan Moina maupun Daphnia dari pengaruh langsung sinar matahari.
- Siapkan pupuk kandang, yaitu kotoran ayam dan pupuk kompos dengan dosis masing-masing sebanyak 1 kg/m3 untuk budidaya Moina, sedangkan pada budidaya Daphnia kotoran ayam 1,5 kg/m3 dan kompos 1 kg/m3.
- Masukkan pupuk kandang tersebut ke dalam kantong waring, ikat dan masukkan ke dalam kolam budidaya.
- Satu hari kemudian masukkan bibit Moina 2 gram/m3 atau sekitar 3 - 4 ekor/10 ml dan Daphnia sebanyak 5 gram/m3.

C. Pemanenan
- Moina mulai dipanen pada hari ke-7 sampai hari ke-10 dari pemupukan awal, sedangkan Daphnia pada hari ke-21 dan setelah itu pemanenan dapat dilakukan setiap hari selama 3 minggu sebanyak 25 gr/m3 .
- Untuk budidaya Moina pemupukan ulang sebanyak 0,2 dosis dari pemupukan pertama dapat dilakukan pada hari ke-4 setelah pemupukan awal. Sedangkan pada budidaya Daphnia, pemupukan ulang dilakukan sebanyak 0,5 dosis seminggu setelah pemupukan awal .
Pada budidaya Moina untuk menjamin penyediaan pakan alami secara terus menerus diperlukan paling sedikit 3 buah kolam. Pelaksanaan budidaya kolam ke-2 dimulai pada hari ke empat dari pelaksanaan budidaya kolam ke-1. Sedangkan budidaya kolam ke-3 dimulai pada hari ke empat setelah pelaksanaan budidaya kolam ke-2 dimulai. Dengan demikian pemanenan Moina dapat dilakukan setiap hari secara terus-menerus, mulai hari ke-7 sampai hari ke10, sebanyak 200 - 400 gr/m3 air.
Untuk mendapatkan Daphnia setiap hari diperlukan 2 buah kolam. Pelaksanaan budidaya kolam ke-2 dilakukan pada hari ke-20 setelah pelaksanaan budidaya pada kolam ke-1. Pemanenan Daphnia dapat dilakukan setiap hari mulai hari ke-21 selama tiga minggu, dengan jumlah 25 gr/m3/hari.



DAFTAR PUSTAKA

Chumaidi dan Djajadireja, 1982. Kultur Massal Daphnia sp.di Dalam Kolam Dengan Menggunakan Pupuk Kotoran Ayam. Bull. Pen.PD.1.3(2) : 17 – 20.

Chumaidi et. al. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Pakan Alami Ikan dan Udang
Puslitbangkan PHP\KAN\PT\12\Rep\1990. Jakarta

Darti,S., Darmanto, dan Adisha. 2000 Laporan Akhir Hasil Pengkajian Budidaya Pakan Alami untuk Benih Ikan Ekonomis Penting. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta

Lingga, P. dan H. Susanto. 1989. Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta Hal. 17- 24

Suprayitno, SH. 1986. Kultur Makanan Alami. Direktorat Jendral Perikanan dan
International Development Research Centre. INFIS Manual Seri no.34.35 pp of Giant

Gouramy Larvae. in Chorn Lim (eds) Fish ang feed Technology research in
Indonesia- RIFCA. Ministry of Agriculture Indonesia. P. 107 - 112

15 Jan 2010

ANALISIS TSS, TDS, KEKERUHAN, NITRAT,NITRIT & AMONIAK

PROSEDUR KERJA ANALISIS KUALITAS AIR DI LABORATURIUM UB

a.Prosedur kerja Analisis TSS (Menggunakan Metode Gravimetri)
- Kertas saring diletakkan diatas cawan petris dikeringkan didalam oven pada suhu 105 derajat celcius selama ½ jam.
- Dinginkan dalam dessikator selama ½ jam
- Timbang kertas saring dengan menggunakan timbangan analitik (Wo)
- Saring air sampel 100 ml
- Keringkan kertas ½ jam suhu 105 derajat celcius
- Dinginkan ½ jam
- Timbang (Wt)

b. Prosedur kerja Analisis TDS (Menggunakan Metode Gravimetri)
- Keringkan gelas beaker dalam oven dalam suhu 105 C0 selama ½ jam
- Lalu dinginkan dalam dessikator selama ½ jam
- Timbang gelas beaker dengan menggunakan timbangan analitik (Wo)
- Air yang dibawahnya TSS direbus sampai tinggal sedikit lalu dikeringkan dioven.
- Dinginkan dalam dessikator selama ½ jam
- Lalu timbang gelas beaker (Wt)

c. Prosedur kerja Analisis Kekeruhan (ntu)
- Kalibrasi turbidy meter dengan aquades
- Masukan sampel dalam botol sampel lalu ukur kekeruhannya

d.Prosedur kerja analisis nitrat (Menggunakan Metode Spektrophotometri)
- Ambil 5 ml air sampel (masukkan dalam gelas beku)
- Tambahkan 0,5 ml brucine aduk hingga larut
- Tambahkan 5 ml H2SO4
- Ukur absorbanya dengan panjang gelombang 410 Nm

note : Bahan larutan brucine Timbang 20 mg brucine dan 25 mg sulfaniliacid
Tambahkan 17,5 ml aquades panas
Tambahkan 1,2 Hcl pekat
Dinginkan
Tepatkan volumenya 25 ml
e.Prosedur kerja analisis nitrit (Menggunakan Metode Spektrophotometri)
- Sampel 20 ml tuang dalam labu ukur 25 ml
- Ditambah sulfanilamide 1 ml
- Ditambah NED 1 ml
- Ditambah Aquades sampai tanda batas
- Biarkan bereaksi selama 20 menit diruang gelap
- Ukur absorbance panjang gelombang 540 Nm

f. Prosedur kerja analisis amoniak (Menggunakan Metode Tetrimetri)
- Sampel 50 ml tuang dalam labu kjeldahl
- Ditambah NaOH 40% 1-2 tetes
- Ambil 25 ml H2SO4 25 mmol tuang dalam Erlenmeyer
- Destilasi dingga H2SO4 bertambah menjadi 50 ml
- Indikator BCG + metil red ke dalam Erlenmeyer sebanyak 5-7 tetes (merah)
- Titrasi NaOH 50 mmol hingga berwarna hijau muda.

Note: Larutan H2SO4 25 mmol = 0,7 ml H2SO4 pekat dalam 500 ml air
Larutan NaOH 50 mmol = 0,9997 gr dalam 500 ml air
Larutan BCG/Methylred = 0,5 gr BCG+0,1 gr methylred dlm 100 ml ethanol 95%



Bahan yang digunakan untuk analisis parameter kualitas air
No: Tujuan: Bahan-bahan yang digunakan
1.Analisis nitrat: Sampel ± 5ml, Larutan brucine, Larutan standar nitrat dan H2SO4
2.Analisis nitrit: Sampel air, Sulfanilamid, HCL 50% , NED, dan Larutan standar NaNo2 0,1, 0,2, 0,5 – 1 ppm
3.Analisis amoniak:Sampel air, NaOH 40% NaOH 50 mmol, H2SO4 25 mmol, Indicator BCG + metal red,